Ahad 23 Oct 2016 14:11 WIB

Kemenag Angkat Bicara Soal 'Teman Setia' dan 'Alquran Palsu'

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Nasih Nasrullah
Kepala Lajud Muchlis M Hanafi.
Foto: Republika / Darmawan
Kepala Lajud Muchlis M Hanafi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Kementerian Agama angkat bicara terkait polemik kata ‘awliya’ pada QS al-Maidah: 51 yang diterjemahkan sebagai ‘teman setia’ pada beberapa edisi terbitan Terjemahan Alquran yang beredar saat ini. Pgs. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Kemenag Muchlis M Hanafi menjelaskan bahwa terjemahan Alquran tersebut merujuk pada edisi revisi 2002 Terjemahan Alquran Kementerian Agama yang mendapat tanda tashih dari LPMQ.

Pernyataan ini menanggapi beredarnya postingan di media sosial tentang terjemahan kata 'awliya' yang disebutkan telah berganti dari 'pemimpin' menjadi 'teman setia'. Informasi yang viral di media sosial dengan menyertakan foto yang memuat halaman terjemah itu juga disertai keterangan yang menyebutnya sebagai 'Alquran palsu'.

Muchlis menegaskan tidak benar kabar yang menyatakan bahwa telah terjadi pengeditan terjemahan Alquran belakangan ini. "Tuduhan bahwa pengeditan dilakukan atas instruksi Kementerian Agama juga tidak berdasar," kata Muchlis dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Ahad (23/10).

Menurut Muchlis, kata ‘awliya’ di dalam Alquran disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya. Merujuk pada Terjemahan Alquran Kementerian Agama edisi revisi 1998-2002,  pada QS Ali Imran [3]: 28, QS an-Nisaa' [4]: 139 dan 144 serta QS al-Maidah [5]: 57, misalnya, kata 'awliya' diterjemahkan dengan ‘pemimpin’. Sedangkan pada QS al-Maidah [5]: 51 dan QS all-Mumtahanah [60]: 1 diartikan dengan ‘teman setia’.

 “Pada QS at-Taubah [9]: 23 dimaknai dengan ‘pelindung’, dan pada QS an-Nisaa' [4] diterjemahkan dengan ‘teman-teman’,” jelas Muchlis.

Terjemahan Alquran Kemenag, lanjut Muchlis, pertama kali terbit pada 1965. Pada perkembangannya, terjemahan ini telah mengalami dua kali proses perbaikan dan penyempurnaan, yaitu pada 1989-1990 dan 1998-2002. Proses perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan oleh para ulama dan ahli di bidangnya, sementara Kementerian Agama bertindak sebagai fasilitator.

Penyempurnaan dan perbaikan tersebut, ungkap dia, meliputi aspek bahasa, konsistensi pilihan kata atau kalimat untuk lafal atau ayat tertentu, substansi yang berkenaan dengan makna dan kandungan ayat, dan aspek transliterasi. Pada terjemahan Kementerian Agama edisi perdana (1965), kata 'awliya' pada QS Ali Imran [3]: 28 dan QS an-Nisaa' [4]: 144 tidak diterjemahkan. 

Terjemahan QS. An-Nisa [4]: 144, misalnya, berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir sebagai 'wali' dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. Pada kata 'wali' diberi catatan kaki: wali jamaknya awliya, berarti teman yang akrab, juga berarti pelindung atau penolong. Catatan kaki untuk kata *wali* pada QS Ali Imran [3]: 28 berbunyi: wali jamaknya awliya, berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.

Terkait penyebutan 'Alquran palsu' pada informasi yang viral di media sosial,  penyabet gelar doktor tafsir Alquran daej Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini mengatakan, terjemahan Alquran bukanlah Alquran. Terjemahan adalah hasil pemahaman seorang penerjemah terhadap kitab suci umat Islam itu. 

Oleh karenanya, banyak ulama berkeberatan dengan istilah “terjemahan Alquran”. Mereka lebih senang menyebutnya dengan “terjemahan makna Alquran”.

Muchlis menerangkan tentu tidak seluruh makna Alquran terangkut dalam karya terjemahan, sebab Alquran dikenal kaya kosa kata dan makna. Seringkali, ungkapan katanya singkat tapi maknanya padat. Oleh sebab itu, wajar terjadi perbedaan antara sebuah karya terjemahan dengan terjemahan lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement