Senin 24 Oct 2016 05:23 WIB

Salah Jalan

Ustaz Hasan Basri Tanjung
Foto: ROL/Agung Sasongko
Ustaz Hasan Basri Tanjung

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Hasan Basri Tanjung

Sebagai manusia, tentulah tak lepas dari salah dan lupa. Al-insanu mahallu al-khata` wan annis-yan (manusia itu tempat salah dan lupa). Mulai dari kesalahan kecil hingga yang besar. Namun mesti diingat, bahwa sekecil apapun kesalahan akan menimbulkan dampak buruk.

Misalnya, salah makan akan sakit perut. Salah tidur bikin sakit leher atau kepala. Salah paham menimbulkan kecurigaan. Salah baca akan merusak arti. Kita mohon ampun atas kesalahan itu (QS [2]:286).

Ada pula salah kata, yakni ucapan yang merendahkan, baik terhadap agama maupun orang lain. Ucapan yang telah menistakan Alquran dan ulama serta menyakiti hati umat Islam, misalnya, patut diberi hukuman setimpal. Ada kesalahan lain yang berbahaya, yakni salah jalan. Artinya, salah memilih jalan, karena tidak tahu atau mengikuti orang yang salah jalan.

Merujuk Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menafsirkan surah al-Fatihah ayat 6-7, yang menyebut tiga jalan di hadapan manusia. Pertama, ash-shirath al-mustaqiim (jalan lurus), yakni jalan para Nabi, orang benar, orang mati syahid dan orang saleh, yakni al-Islam (QS [4]: 69, [6]: 126).

Kedua, ash-shirath al-maghdub (jalan murka) yakni jalan menyimpang dari jalan lurus (agama Islam). Mereka sengaja menuruti hawa nafsu (setan), tidak mau mendengar nasihat, merasa lebih pintar dari Allah SWT dan Rasulullah SAW. Ketiga, ash-shirath al-dhaalluun (jalan sesat) yakni jalan yang dibuat sendiri di luar agama Allah SWT.

Sejatinya, penekanan bukan pada Yahudi atau Nasraninya, tapi sebab-sebab timbulnya kemurkaan dan kesesatan itu. Bagaimana orang bisa salah jalan? Ada empat tangga yang dilaluinya: Pertama, terpesona. Kagum melihat tampilan seseorang, baik asesoris, keilmuan maupun kesalehan atau keuntungan yang menggiurkan.

Salah satu potensi manusia adalah nafsu serakah (al-hirshun) akan dunia (QS 3:14,102:1-2). Manusia tidak akan pernah puas, walaupun diberi satu lembah emas (HR Bukhari). Jika orang serakah berilmu, maka ia potensial menjadi penipu (QS [2]:204). Jika ia tak berilmu, akan menjadi korban penipuan.

Kedua, terlena. Jika terpesona melihat kehebatan seseorang, maka ia akan terlena atau terpedaya. Bisa jadi, ia tidak ingat lagi kepada Allah SWT karena alam pikirannya sudah dipenuhi impian indah yang palsu. Nalar akal sehat dan hati nuraninya pun sirna seketika. Ia pun lupa akan dirinya sendiri (QS [59]:19).

Begitulah yang kita lihat ketika orang intelek atau berpangkat, bisa tunduk di hadapan seorang guru spritual yang rela menggadaikan harga diri dan harta benda. Ketiga, tertipu. Orang yang terpesona dan terlena akan mudah tertipu. Mereka pun menjadi korban dengan hilang harga diri, harta, keluarga dan lainnya.

Impian uang yang berlipat ganda, masuk surga disambut bidadari dan kemudahan meraih sesuatu (tanpa usaha) hanya bualan belaka. Dunia ini memang perhiasan yang memesona dan menipu yang diperankan oleh siraja tipu (setan) maupun si tukang tipu yakni manusia serakah (QS [2]:29, [4]:120, [6]:112).

Keempat, tersesat. Akhir dari salah jalan adalah tersesat. Salah jalan ada dua, yakni tersesat menuju suatu tempat dan tersesat menuju akhir kehidupan. Jika yang pertama mudah diketahui dan bisa segera putar arah, namun yang kedua, sulit diketahui atau disadari, dan tidak mudah untuk kembali. Banyak orang tersesat dalam beragama.

Orang yang salah jalan, bukan semata karena tak berilmu, tetapi juga orang berilmu yang lemah iman. Orang beriman pun bisa salah jalan, jika tak paham agama dengan benar dan dikuasai nafsu syahwat. Untuk menjaga kemurnian akidah dan ibadah, kita harus masuk ke lingkaran alim ulama yang saleh.  Allahu a’lam bish-shawab.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement