REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Ditjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin berpesan agar umat Islam tidak mempersempit makna dakwah. Pasalnya, selama ini, dakwah sering disalah artikan seolah sebagai pesan yang datang dari luar.
Pemahaman semacam itu, katanya, dipastikan membawa konsekuensi terhadap dakwah itu sendiri baik dalam pendekatan maupun konten yang disampaikan. “Kalau dakwah dianggap sebagai pesan dari luar, maka langkah pendekatannya lebih diwarnai sebagai pendekatan interventif dan juru dakwah seolah sebagai pihak yang tidak terkait dengan apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat,” ujar Amin saat memberikan sambutan pada Workshop Penyusunan Buku Penguatan Materi Dakwah dan Kurikulum TPQ Alquran Muslimat NU”, akhir pekan.
Mengutip seorang intelektual Muslim, A.Hasjimi, Amin menerangkan, bahwa dakwah seharusnya dimaknai sebagai aktivitas mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syariat Islam yang terlebih dulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah itu sendiri.
“Jika kita memaknai dakwah dengan benar seperti itu, maka penyiapan kader-kader dakwah yang berkualitas harus menjadi program dan agenda bersama umat Islam.” tegasnya.
Dikatakan Amin, dakwah seringkali sering disalah artikan sekadar ceramah dalam arti sempit. “Masalah ini sebenarnya sudah sering diungkapkan, sehingga akibatnya orientasi dakwah sering pada hal-hal yang bersifat ruhani saja.” kritiknya.
Workshop Penyusunan Buku Penguatan Materi Dakwah dan Kurikulum TPQ Alquran Muslimat NU dilaksanakan di Hotel Bintang Griya Wisata, Jakarta Pusat. Kegiatan tersebut dihadiri oleh sejumlah pimpinan Muslimat, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Muslimat NU merupakan badan otonom dari Nahdhatul Ulama yang dibentuk pada 29 Maret 1946. Situs resmi Muslimat NU menyebutkan bahwa organisasi tersebut ditujukan sebagai wadah perjuangan wanita Islam Ahlussunnah wal Jamaah dalam mengabdi kepada agama, bangsa dan negara.