REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Anak-anak pengungsi Calais rentan menjadi korban perdagangan manusia, setelah otoritas Prancis memutuskan untuk mengosongkan kamp pengungsi tempat mereka tinggal.
Anggota Parlemen Home Affairs Committee Inggris, Yvette Cooper, mengatakan meski ada upaya memindahkan ke Inggris, tetapi jumlah mereka masih sangat banyak di Calais.
Cooper menyayangkan Pemerintah Inggris dan Pemerintah Prancis yang tidak bertindak cukup cepat untuk menyatukan kembali anak-anak tersebut dengan kerabat atau keluarga mereka di Inggris.
"Kami tahu ada beberapa badan amal yang bekerja selama berbulan-bulan, tapi banyak dari anak-anak yang masih tertahan di Calais hingga hari ini," ujar Cooper, dikutip dari The Independent.
Menurutnya, anak-anak itu rentan "menghilang" karena dijadikan korban perdagangan manusia. Hal itu menjadi risiko jika kamp pengungsian dipaksa tutup, tanpa ada rencana matang bagi para anak-anak dan remaja.
"Rekaman menunjukkan kerusuhan di Calais menjelang pembongkaran pengungsian. Konsekuensinya, anak-anak akan menyelinap ke geng penyelundup untuk kemudian disalurkan ke para pedagang manusia. Jika mereka tidak mampu bertemu kembali dengan keluarga mereka, berarti mereka menghilang," kata dia.
Pihak berwenang Prancis mulai membongkar tenda pengungsian pada Selasa (25/10). Sebanyak 3.000 pengungsi dievakuasi, diikuti oleh bentrokan dengan polisi.
Baca juga, Prancis Mulai Kosongkan Kamp Pengungsian Calais.
Para pengungsi harus mendapatkan suaka di Prancis dalam jangka waktu dekat atau mereka harus dideportasi ke negara asal. Sedangkan menurut Cooper, peraturan untuk pengungsi anak-anak sampai saat ini masih belum jelas.
"Masih ada ratusan anak-anak dan remaja terjebak di kamp pengungsian dan otoritas Perancis belum memasukkan mereka ke tempat penampungan sementara. Tidak ada tempat yang aman bagi anak-anak untuk bisa ditinggali, sehingga Inggris harus melakukan sesuatu," ungkap Cooper.