Pengelolaan Haji, Revolusi, dan Warisan Kantoor voor Inlandsche Zaken
Oleh: Erie Sudewo, Pendiri Dompet Duafa
Semburat Shubuh masih tersisa saat saya tiba di Bandara Sukarno-Hatta, Sabtu 22 Okt’16. Sambil sarapan potongan pepaya, semangka, dan melon, pagi-pagi saya sudah diskusi hangat.
“Negeri ini tak dibantu warganya”, kata Asrul Azis Taba. Dahi saya berkerut. Butuh penjelasan lebih. Bicara seputar haji, mengapa kesimpulannya mengerikan banget. Otak saya yang selalu korsleting langsung kesetrum.
Memang sual umroh dan haji itu ibadah. Soalnya di kita makin hari makin rumit, kata orang yang sudah urus haji puluhan tahun ini. Di zaman kolonial, jamaah haji jelas persoalan. Bukan hanya karena lain keyakinan. Sebab sepulang haji, selalu terjadi gerakan protes. Bahkan terjadi pula pemberontakan.
Saya jadi ingat disertasi Politik Islam Hindia Belanda, terbitan LP3ES. Bukan tanpa maksud Aqib Suminto, sang penulis berkisah Snouck Hurgronje. Melalui Kantoor voor Inlandsche Zaken yang dipimpinnya, Snouck memantau siapapun yang baru pulang haji. Hasil pantuan, itulah rekomendasi pada pemerintah Hindia Belanda.
Kantor Snouck ini telah diwariskan. Sekarang namanya Departemen Agama. Apakah soal haji yang tak kunjung usai, juga warisan Snouck dan Kantoor voor Inlandsche Zaken?
Asrul kemudian melanjutkan omongannya. “Harus berani stop pendaftaran haji. Revolusi”, ujar Asrul yang pernah menjabat sebagai Ketua Ampuh ini. Saya jelas terkaget-kaget. Apa soal sesungguhnya.
Banyak masalah di haji, katanya. Pertama, daftar sekarang lalu ada yang tunggu hingga 25 tahun. Kedua, nama-nama itu siapa bisa jamin tak ditukar-tukar. Jadi bahan permainan. Ketiga, akurasi datanya, entah. Keempat, jika ada yang wafat, solusinya? Kelima ini yang jadi soal utama. Pendaftaran langsung setor ONH.