Selasa 25 Oct 2016 17:00 WIB

Pengosongan Kamp Calais Timbulkan Krisis Baru Pengungsi

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Seorang migran menunggu proses registrasi di kamp 'hutan' Calais, utara Prancis, Selasa, 15 Oktober 2016. Prancis memulai proses evakuasi massal kamp tersebut.
Foto: AP Photo/Matt Dunham
Seorang migran menunggu proses registrasi di kamp 'hutan' Calais, utara Prancis, Selasa, 15 Oktober 2016. Prancis memulai proses evakuasi massal kamp tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, CALAIS -- Bus-bus yang membawa para migran dari sebuah kamp pengungsian besar di Calais, Prancis terus berdatangan. Selama beberapa hari ke depan, kendaraan tersebut akan melaju secara tersebar di pusat-pusat penampungan terbaru di negara itu, atau yang disebut dengan Welcome and Orientation Centres (CAOs).

Dilansir dari BBC, Selasa (25/10), otoritas Prancis berharap dalam dua hari ini, pengosongan kamp di Calais dapat mengalami banyak kemajuan. Setidaknya, 4.000 migran dapat pergi meninggalkan tempat penampungan itu.

Pada akhir pekan ini, seluruh migran yang diperkirakan berjumlah 7.000 orang telah pergi dan dataran rendah Calais dapat kembali seperti keadaan semula. Pemerintah Prancis juga mengatakan telah membuat rencana rinci terkait pengosongan  kamp yang juga disebut sebagai 'hutan' itu.

Baca: London dan Paris Bertengkar Soal Nasib 1.300 Anak Calais

Prancis ingin agar pengosongan kamp berjalan cepat dan efisien. Baik polisi, LSM, maupun jasa suaka yang mengambil bagian dalam operasi ini disebut telah mempersiapkan segala sesuatu terkait hal itu sejak jauh-jauh hari.

Banyak dari migran yang nampaknya yang tidak memiliki pilihan apa pun setelah pergi dari Calais. Pada masa lalu, rute menuju CAOs mungkin hanyalah sebuah pilihan sukarela. Namun, jika saat ini hal itu tidak dilakukan, maka kemungkinan besar mereka akan menghadapi kemungkinan deportasi.

Tak sedikit yang menduga, semua proses ini hanya akan kembali seperti semula. Salah satu contoh krisis Calais yang melekat dalam benak banyak orang terjadi pada 1999 hingga 2002. Krisis yang dikenal dengan sebutan Sangatte itu terjadi di bagian lain dari kamp penampungan saat ini, tepatnya di dekat sebuah terowongan bawah tanah yang berubah menjadi Pusat Palang Merah untuk Migran.

Pada awalnya, hanya ada ratusan migran yang datang dari berbagai wilayah diantaranya Timur Tengah. Namun, gelombang migran terus bermunculan hingga mencapai 1.500 dan kebanyakan berasal dari Afghanistan, Irak, dan Kosovo. Mereka juga berupaya untuk menyebrang ke Inggris secara ilegal.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement