REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia mengkritisi salah satu poin dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bank Dunia mencatat, salah satu kelemahan Indonesia adalah tidak memanfaatkan dan mengembangkan sektor pangan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Bahkan, Bank Dunia mencatat, pengeluaran Indonesia untuk ketahanan pangan jauh lebih besar dan tidak tepat sasaran. Semestinya, sebagai negara agraris, Indonesia bisa menjadikan sektor pangan sebagai salah satu pilar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Vice President for the World Bank's Global Practices for Equitable Growth, Finance, and Institutions, Jan Walliser mengatakan salah satu poin yang perlu diperhatikan oleh Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah perbaikan di sektor pangan. Walliser menilai Indonesia perlu melakukan reorientasi kebijakan ketahanan pangan. Walliser menjelaskan, pada 2015 saja Indonesia harus mengalokasikan sekitar 4,6 persen dana dari GDP untuk mendukung ketahanan pangan. Angka ini dinilai terlalu besar dibandingkan negara lain.
"Dana pemerintah untuk ketahanan pangan hanya habis untuk subsidi pupuk dan subsidi beras seperti raskin. Itu semua untuk mensuplai kebutuhan masyarakat. Mestinya, pemerintah mengalokasikan dana untuk membuat swasembada pangan," ujar Walliser di Jakarta, Selasa (25/10).
Bank Dunia mencatat, negara lain seperti Cina, Jepang, Vietnam, dan Eropa hanya mengambil rata rata 0,9 persen dananya dari keseluruhan anggaran pemerintah untuk mensupport ketahanan pangannya. Walliser menilai, mestinya dengan dana yang teralokasikan sebesar itu, pemerintah Indonesia bisa mengembangkan penelitian, perbaikan infrastruktur, pendampingan petani, pendidikan agrikultur, pengendalian hama, dan jaminan pangan. Dengan alokasi dana untuk pengembangan jangka panjang dinilai juga akan meningkatkan kemandirian masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui sektor pangan.