REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Dalam peluncuran pencetakan perdana mushaf Alquran standar Indonesia oleh Unit Pencetakan Alquran (UPQ) Kementerian Agama, Menteri Agama memesankan beberapa hal. Dicetak oleh negara, Kemenag punya tanggung jawab atas pencetakan Alquran ini.
Dalam peluncuran pencetakan perdana mushaf Alquran standar Indonesia yang diterbitkan Kementerian Agama di Unit Pencetakan Alquran (UPQ) Kemenag di Ciawi, Bogor, pada Selasa (25/10), Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menjelaskan, Alquran punya kekhasan sendiri. Nampaknya, tak ada kitab suci yang demikian istimewa di mata penganutnya selain Alquran. Alquran dibaca, dihafal, dipahami, diamalkan, diajarkan bahkan dilombakan.
Diakui Lukman, kemampuan Kemenag terbatas. Pencetakan Alquran ini bagian pemenuhan kebutuhan umat Islam atas Alquran. Di sisi lain, Kemenag juga memikul tanggungjawab besar. "Kita tahu masyarakat Indonesia sangat religius dan punya penyikapan khas terhadap Alquran," kata Lukman.
Kepada mereka yang langsung berkaitan dengan proses pencetakan Alquran, Lukman berpesan agar lima nilai budaya Kemenag benar-benar dijaga dan betul-betul mewujud dalam proses ini. "Kita sudah banyak belajar, korupsi Alquran sudah cukup. Itu bukan hanya tamparan, tapi meruntuhkan integritas aparat sipil negara," kata Lukman.
Ke dua, Lukamn meminta profesionalitas dijaga dengan meneliti betul tiap ayat. Karena, apa yang dicetak akan jadi rujukan umat, tempat semua orang akan melihat. "Kesalahan cetak tak bisa ditoleransi jika pencetaknya adalah negara. Kesalahan itu sulit diterima. Mohon dengan sangat ketelitian, profesionalisme, tanggung jawab betul-betul dipegang," ujar dia.
Pengalaman menunjukkan, salah terjemah saja jadi masalah luar biasa bagi masyarakat. Saat ini, mushaf yang dicetak UPQ Kemenag memang tanpa terjemah, tapi arah ke sana bisa terjadi karena ada kebutuhan.
Terjemahan Alquran sendiri bukan Alquran. Sehebat apapun para mufassir, mereka tidak luput dari salah. Maka tak mengherankan kitab tafsir selalu diakhiri wallahu 'alam bi shawab. Sebab, manusia dengan segala keterbatasannya tidak bisa menterjemah dan menafsir kalam Allah. Manusia tidak bisa sepenuhnya menangkat substansi Alquran yang punya makna luar biasa penuh metafor, majas, dan ribuan makna.
Maka, penafsiran beragam jadi lazim. Ini menunjukkan keterbatasan para mufassir. Kerena keterbatasan itu para mufassir berpandangan berbeda atas satu ayat. Tapi hebatnya para mufassir, mereka tidak saling menyalahkan. Sejarah tidak mencatat pertarungan keras perbedaan pandangan para mufassir karena mereka sadar keterbatasannya. Mereka tidak memaksakan terjemahan mereka saja yang dianggap benar.
Saat ini, Kemenag sedang mengkaji perubahan terjemahan Alquran. Kalau pun ada perubahan terjemaham, ada dasar dan konteksnya. Pengkajinya pun bukan oleh orang awam, tapi para ulama yang memang mendalami Alquran.
"Tapi saat kalau Alquran tidak ada terjemahan, maka kesalahan tulis ayat tidak ada ampun. Mohon cek lagi apa ada kesalahan ayat atau huruf. Ini pertaruhan kita, tak hanya Kemenag tapi juga umat Islam," ungkap Lukman.
Juga soal inovasi. Alquran demikian variatif tampilannya. Lukman menilai, Kemenag harus mencetak mushaf Alquran yang tampilannya mengikuti minat kekinian terutama di kalangan pemuda. Ia juga berharap, UPQ berkoordinasi dengan tim pentahsihan.