Rabu 26 Oct 2016 13:18 WIB

Masjid Agung Manonjaya Sarat Nilai Sejarah Syiar Islam

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Masjid Agung Manonjaya
Foto: dok.Istimewa
Masjid Agung Manonjaya

REPUBLIKA.CO.ID, Masjid Agung Manonjaya dibangun pada 1832 oleh Raden Tumenggung Danuningrat. Sampai saat ini, bangunan masjid yang telah berdiri 182 tahun tersebut, tidak berubah.

Masyarakat sekitar telah berkomitmen untuk melestarikan masjid peninggalan leluhur dengan tidak mengubah postur bangunannya. Mesjid Agung Manonjaya dibangun menghadap ke sebuah tanah lapang (alun-alun). Udara disekitar mesjid cukup panas karena saat ini mesjid tersebut berada di tengah kota.

Akan tetapi, saat kita menginjakkan kaki di teras masjid, kita akan disapa oleh udara sejuk nan dingin. Juru pelihara Masjid Agung Manonjaya, Rusliana, menjelaskan, arsitektur masjid selain unik juga memiliki makna historis yang kuat. “Masjid Agung Manonjaya menggambarkan perpaduan banyak unsur seni bangunan tradisional dengan neoclassic Eropa," kata Rusliana kepada Republika.

Unsur seni bangunan tradisional dapat terlihat pada atap masjid. Masjid tersebut tidak menggunakan kubah seperti kebanyakan masjid lainnya, melainkan menggunakan atap tumpang tiga. Bentuk denah segi empat dan menggunakan prinsip struktur soko guru di bagian tengah masjid.

Hal unik lainnya, ruang sholat untuk perempuan (pawestren) berada di sebelah selatan ruang shalat utama. Ruangan tersebut berukuran lebih kecil, panjangnya 11,4 meter dan lebar 3,8 meter. Pintu masuk ke pawestren ada tiga, dua dari ruang utama shalat dan satu dari serambi Masjid.

Menurut Rusliana, serambi masjid yang memiliki banyak tiang penyangga merupakan adaptasi arsitektur neoclassic Eropa. Sementara mustaka yang ada diatas menara masjid merupakan adaptasi dari elemen sakral bangunan-banguan Hindu pra-Islam di Jawa.

Ada empat menara Masjid yang berada di sisi kanan, kiri dan dua di tengah. Menara yang ada di kanan dan kiri berbentuk segi delapan. Ada enam buah jendela di setiap menara. Sangat tampak khas arsitektur Eropa pada jendela menara yang ada di kanan dan kiri masjid.

Selain itu, masjid juga dikelilingi oleh tiang-tiang penyangga khas Eropa. Di ruang utama masjid terdapat 10 tiang penyangga. Tiang tersebut terdiri dari empat tiang soko guru berbentuk segi delapan, empat tiang penyangga atap di antara tiang Soko Guru. Kemudian ditambah dua tiang yang berdiri di depan mihrab. Tinggi tiang-tiang tersebut masing-masing empat meter dengan garis tengah satu meter. Semua tiang terbuat dari tembok.

Mihrab atau tempat Imam pemimpin solat berbentuk persegi panjang. Panjangnya 6,3 meter dengan lebar 4,3 meter. Dihubungkan ke ruang shalat utama dengan tiga pintu besar tanpa daun pintu. Ketiga pintu tersebut terbuat dari kayu dan berhiaskan kaligrafi. “Kaligrafinya bertuliskan ayat-ayat alkuran tentang shalat,” kata Zam zam, juru kunci Masjid Agung Manonjaya.

Asal muasal masjid

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII, wilayah Sukapura yang merupakan wilayah kekuasaannya dibagi menjadi tiga wilayah. Di antaranya, Sukapura Kolot, Sukapura dan Tasikmalaya. Wilayah Sukapura memiliki luas sekitar 260 ribu hektare. Jumlah penduduknya pada tahun 1831 sebanyak 4.687 warega pribumi, 22 orang warga keturunan Cina dan enam orang warga asing.

Di 1832, Raden Wiradadaha memindahkan ibu kota Sukapura. Dari catatan sejarah yang dimiliki juru pelihara masjid, ibu kota dari Leuwiloa di Sukaraja hendak dipindahkan ke Harjawinangun (kini menjadi Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya). Namun, untuk membangun ibu kota membutuhkan waktu sekitar dua tahun.

Pembangunannya dipimpin oleh Patih Raden Tumenggung Danuningrat. Ia mempunyai tugas untuk membangun ibu kota Sukapura di tempat yang baru. Baru secara resmi ibu kota Sukapura pindah ke Harjawiangun pada 1834.

Dari catatan sejarah, Raden Danuningrat dalam merencanakan tata ruang Kota Harjawinangun berpedoman pada Masjid Kecil. Masjid tersebut telah ada sebelum pembangunan Masjid Agung Manonjaya. “Masjid tersebutlah cikal bakal Masid Agung Manonjaya,” kata Rusliana.

Adanya masjid kecil tersebut menandakan pada masa itu pemeluk agama Islam telah banyak di wilayah Sukapura. Adanya Masjid Agung Manonjaya memiliki peran penting. Karena pada masa lalu, banyak kegiatan keagamaan yang dilakukan di Masjid tersebut.

Selain itu keberadaan masjid juga membuat masyarakat semakin mudah menjalankan shalat berjamaah dan melakukan kegiatan keagamaan lainnya. Seiring populasi penduduk terus bertambah, Masjid juga mengalami pelebaran di 837. Kemudian ditambah dengan membuat alun-alun di depan masjid.

Sampai saat ini bangunan inti Masjid Agung Manonjaya tetap seperti saat pertama kali dibangun. Hanya saja ada pelebaran serambi yang dilakukan pada tahun 1889 oleh Raden Tumenggung A Wiraatmaja. Setelah itu masyarakat memutuskan untuk tidak mengubah postur bangunan Masjid lagi.

Masjid juga pernah terkena gempa pada tahun 1977. Sehingga serambi Masjid rusak. Kemudian dilakukan pembaharuan, tapi dengan membuat bentuk persis seperti semula saat dibangun. Tidak ditambahi atau pun dikurangi.

Dibelakang Masjid terdapat bangunan tempat anak-anak belajar mengaji dan membaca kitab. Ustaz Zam zam yang menjadi juru kunci masjid juga menjadi guru mengaji anak-anak. Pada 2012, banyak Mahasiswa yang ingin ikut belajar membaca kitab di sana.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement