Rabu 26 Oct 2016 14:30 WIB

Laksanakan Akikah, Apa Hukumnya?

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Akikah
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Akikah

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum akikah. Perbedaan pendapat ini muncul disebabkan adanya perbedaan pemahaman terhadap hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini. Hukum akikah ada yang menyatakan wajib dan ada pula yang menyatakan sunah muakkadah (sangat utama).

Ulama Zahiriyah berpendapat, hukum melaksanakan akikah adalah wajib bagi orang yang menanggung nafkah si anak, maksudnya orang tua bayi. Mereka mengambil dasar hukumnya dari hadis Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi.

(Baca: Akikah dan Tradisi Umat Terdahulu)

Anak yang baru lahir itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari hari kelahirannya, dan pada hari itu juga hendaklah dicukur rambutnya dan diberi nama." (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Sementara itu, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, akikah hukumnya sunah muakkadah. Demikian pendapat Imam Malik, ulama Madinah, Imam Syafii serta para pengikutnya, Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Saur, dan segolongan besar ahli fikih dan mujtahid (ahli ijtihad).

Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi SAW, "Barang siapa di antara kamu ingin bersedekah buat anaknya, bolehlah ia berbuat." (HR Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai).

Sementara itu, para fukaha (ahli fikih) pengikut Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat bahwa akikah tidak wajib dan tidak pula sunah. Melainkan termasuk ibadah tatawwu' (sukarela). Pendapat ini dilandaskan kepada hadis Nabi SAW: "Aku tidak suka sembelih-sembelihan (akikah). Akan tetapi, barang siapa dianugerahi seorang anak, lalu dia hendak menyembelih hewan untuk anaknya itu, dia dipersilakan melakukannya" (HR al-Baihaki).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement