REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terlibat dalam sebuah praktik riba merupakan perbuatan dosa di dalam Islam. Kendati demikian, masih cukup banyak masyarakat yang melakukan hal tersebut. Baik sebagai pemberi manfaat, maupun penggunanya.
Sekretaris Dewan Syariah Nasional, KH Anwar Abbas, mengatakan, minat masyarakat untuk memanfaatkan jasa keuangan yang mempraktikkan sistem riba memang masih tergolong tinggi. Namun, Islam tegas menyatakan bahwa siapa pun yang terlibat dalam praktik riba, akan berurusan dengan Allah SWT di akhirat kelak.
Dia mengungkapkan, masyarakat, terutama mereka yang bertindak sebagai penerima manfaat jasa keuangan, seharusnya dapat menyadari risiko riba. Apalagi, bila mereka berurusan dengan rentenir, yang kerap kali menetapkan riba dengan perhitungan atau standar yang tak masuk akal. "Masyarakat harus menyadari risiko dan bahaya ini. Sebab, kalau sudah terjerat (riba), akan sangat sulit untuk keluar. Akibatnya, mereka akan terus hidup dalam kemiskinan," ujarnya kepada Republika, Rabu (26/10).
Jika situasinya mendesak, kemudian umat terpaksa memanfaatkan jasa keuangan yang mempraktikkan sistem riba, menurut Anwar, hal tersebut sah-sah saja dilakukan. "Tapi dalam perspektif agama Islam, mereka (yang terlibat dalam praktik riba), seperti yang saya bilang tadi, harus siap berurusan dengan Allah SWT," kata dia.
Sebagai pejabat Dewan Syariah Nasional, Anwar berpendapat, umat Islam dapat memanfaatkan jasa keuangan berbasis syariah. Selain itu, umat dinilai bisa saling bahu membahu agar tidak ada di antara mereka yang terjerat riba. Misalnya, dengan menggagas gerakan ekonomi berbasis masjid.
Ia menilai, masjid sebagai simbol utama umat Islam, memang sudah sepatutnya diberdayakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan umat. Salah satunya adalah kebutuhan dalam hal ekonomi. "Jadi ketika ada umat yang membutuhkan uang, mereka bisa datang meminta bantuan kepada masjid, bertemu pengurus masjid. Setelah ditinjau, masjid bisa memberi umat ini pinjaman tanpa harus memungut riba," kata Anwar.
Terkadang, dia menjelaskan, umat memang kerap terbuai untuk selalu memugar masjid. Di sisi lain, tidak memberi kepedulian terhadap kondisi umat di sekitarnya. Padahal, selain menjadi sarana ibadah, masjid juga harus berperan sebagai pusat budaya. "Maksudnya pusat budaya adalah pusat untuk memajukan umat. Kalau ada (umat) yang miskin, ya ditolong. Kalau ada yang mau belajar (Islam), ya dibantu, dan lainnya," ujarnya.
Sebelum merintis hal tersebut, dia menilai, memang masih cukup banyak hal yang perlu dilakukan untuk membina umat agar tidak terjerat riba. Salah satunya adalah dengan mengajarkan mereka tentang pola konsumsi prioritas, yakni memisahkan apa saja kebutuhan primer, tersier, dan sekunder.