REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengajak seluruh elemen bangsa untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
"Pererat tali silaturahim antarkomponen masyarakat. Jaga 'ukhuwwah wathoniyah' (persaudaraan antarsesama warga bangsa) dan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan berdasar kemanusiaan) agar Indonesia terbebas dari ancaman perpecahan," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Pernyataan itu dikeluarkan menanggapi eskalasi dan perkembangan keadaan terkini, terutama terkait diskursus publik yang luas atas pernyataan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu. Pernyataan Ahok menimbulkan kontroversi di hampir seluruh kalangan.
Said Aqil menegaskan,persatuan adalah modal utama bangsa Indonesia di dalam membangun suatu tatanan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur. Hari ini, lanjut Said Aqil, Indonesia dikenal publik internasional sebagai negara yang patut dijadikan percontohan dan teladan, terutama dalam menjadikan faktor kebhinekaan atau keanekaragaman sebagai kekuatan.
Indonesia telah berhasil meletakkan hubungan agama dengan negara secara ideal. Agama tidak lagi dipertentangkan dengan negara. "Nilai agama melebur dengan budaya lokal yang baik, melahirkan spirit wathoniyah, nasionalisme yang tumbuh subur dengan berkembangnya nilai keagamaan," katanya.
Baca juga, PBNU Imbau Warga NU tak Ikut Demo 4 November.
Menurutnya, kondisi itu harus disyukuri dan dijaga, bukan justru dirusak. Apa yang ada di Indonesia itu tidak terjadi di beberapa negara, terutama di negara-negara Teluk ataupun di negara-negara sekuler.
Ia mengatakan hari ini negara-negara teluk seperti Irak, Pakistan, Afghanistan, Suriah, dan Yaman memasuki suatu babak baru yang disebut sebagai negara gagal diakibatkan keliru menerapkan hubungan agama dan negara. Keduanya dipertentangkan satu sama lain yang akibatnya menimbulkan kekacaubalauan.
"Ratusan ribu bahkan jutaan manusia menjadi korban atas peperangan yang timbul akibat kesalahpahaman," kata Said Aqil.
Sementara di negara-negara sekuler yang hanya mengedepankan rasionalitas tanpa agama, kata dia, justru melahirkan titik balik suatu peradaban yang tidak lagi "memanusiakan manusia".