REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iu Rusliana
Dua hari setelah dilantik menjadi khalifah, Umar bin Abdul-Aziz menyampaikan khutbah umum. Pada pengujung khutbahnya, sang khalifah berkata, “Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad SAW dan tiada kitab selepas Alquran. Aku bukan penentu hukum, malah aku pelaksana hukum Allah. Aku bukan ahli bid'ah, malah aku seorang yang mengikut sunah. Aku bukan orang yang paling baik di kalangan kamu, sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya di kalangan kamu. Aku mengucapkan ucapan ini, sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa di sisi Allah.”
Khalifah Umar bin Abdul-Aziz pun kemudian duduk dan menangis. “Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku,” ujarnya. Beliau pulang ke rumah sambil menangis sehingga ditegur sang istri, “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?” Beliau mejawab, “Wahai istriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jawatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu yang janda, anaknya ramai, rezekinya sedikit. Aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara kaum Muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujah-hujah mereka sebagai khalifah kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah SAW.”
Dengan segala kesalehannya, Khalifah Umar bin Abdul-Aziz lebih mengingat dosa-dosa yang mungkin disadari atau tidak atas apa yang terjadi dengan masyarakat yang dipimpinnya. Bahkan, tak peduli dengan nasib keluarganya. Beliau mengingat dan sangat peduli dengan kemungkinan ada warganya yang kelaparan atau sedang kesusahan.
Bagaimana dengan kita? Yang selalu mengutamakan kepentingan anak dibandingkan kepentingan umum. Mengutamakan bermewah-mewahan dibandingkan tenggang rasa dengan kesusahan masyarakat. Sang Khalifah pun meyakini bahwa Allah SWT yang akan menjamin anak-anaknya. Karena itu, dia berusaha mendidik agar anaknya menjadi pribadi saleh.
"Jika anak-anakku orang saleh, Allahlah yang menguruskan orang-orang saleh. Jika mereka orang-orang yang tidak saleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah,” ujar Umar bin Abdul Aziz.
Dalam sebuah kesempatan, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan. Pertama, menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka. Kedua, kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (karena tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga.”
Kisah masyhur Khalifah Umar Bin Abdul-Aziz ini mengajarkan tentang sikap dasar yang harus dimiliki pemimpin. Kisah ini mengajarkan kepada mereka yang menjabat sebagai pemimpin tentang pentingnya nilai pelayanan kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Pemimpin tak harus ingin dilayani, tapi sepenuhnya melayani. Tak perlu terus menuntut gaji naik dan fasilitas yang wah karena semuanya dipertanggungjawabkan. Tak ada satu sen pun yang tidak diadili oleh Allah SWT. Seorang pemimpin harus mengutamakan masyarakat di atas kepentingan keluarga dan golongannya.
Jangan jadikan keluarga menjadi penghalang untuk menegakkan kebenaran. Seperti apa yang disampaikan baginda Rasulullah SAW yang siap memotong tangan putri terkasih, Fatimah, bila terbukti mencuri.
Pemimpin hakikatnya pelayan bagi rakyatnya. Maka bersungguh-sungguhlah bekerja, jangan biarkan kita diadili dengan setumpuk amanah yang diabaikan kepada masyarakat. Naudzubillah.