REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi mengatakan pihaknya belum memikirkan sanksi bagi warga yang tidak berhak memakai gas elpji 3 kilogram tetapi memilih menggunakan. Umumnya karena perbedaan harga yang besar, menurut Kurtubi, pelanggan elpiji 12 kg hijrah membeli elpji 3 kg.
Penyimpangan tersebut, kata Kurtubi, membuat distribusi elpji bersubisidi jadi tidak tepat sasaran. Padahal, kata dia, subsidi yang menggunakan dana APBN sebesar Rp 48 triliun diperuntukkan untuk golongan warga miskin. Dampak lainnya terjadi kelangkaan lantaran ada perebutan dua kelompok yakni kelompok pertama yang hijrah dari 12 kg ke 3 kg. Kedua yang benar-benar berhak menggunakan elpji gas melon.
"DPR belum berpikir tentang sanksi, kita lihat dulu hasil pilot projectnya," kata Kurtubi kepada Republika.co.id, Senin (31/10).
Provinsi DKI Jakarta akan menjadi percontohan subsidi tabung gas elpiji 3 kg secara tertutup. Pendistribusian langsung menyasar warga miskin berpenghasilan di bawah Rp 1,5 juta per bulan. Bila terjadi pelanggaran dalam pendistribusian, akan menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan DPR, yakni soal efek jera untuk pelanggar. "Menjadi PR mungkin, untuk pelanggaran seperti ini, bentuk sanksinya seperti apa, nanti pemerintah mengajukan proposal ke DPR," tutur Kurtubi.
Sebelumnya Direktur Puat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria mendorong adanya sanksi tegas bagi masyarakat yang tidak berhak memakai elpji 3 kg tetapi tetap menggunakan. Sanksi tersebut, menurut Sofyano harus di atur dalam peraturan resmi. "Undang-undangnya seperti apa, Permennya seperti apa, harus diperjelas," ujarnya.