REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Seorang penyelidik hak asasi migran PBB, Selasa (1/11), tiba di Australia untuk menilai kebijakan pencari suaka negara itu yang ketat setelah membatalkan kunjungan tahun lalu. Pembatalan kunjungan tahun lalu disebutkan karena kurangnya bantuan pemerintah dan akses terhadap kamp-kamp penahanan pencari suaka.
Pelapor Khusus Hak Asasi Migran PBB Francois Crepeau akan menghabiskan waktu selama 18 hari di Australia dan negara kecil di Pasifik Selatan, Nauru, dimana sekitar 410 orang pria, perempuan dan anak-anak ditahan tanpa kepastian. "Ini adalah sebuah kesempatan bagi saya untuk memahami bagaimana Australia mengatur kebijakan migrasi secara keseluruhan, dan dampaknya terhadap hak asasi para migran," Crepeau mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Di bawah ketentuan keamanan perbatasan Australia, para pencari suaka yang kedapatan mencoba mencapai negara itu dengan menggunakan kapal dipindahkan untuk diproses di sejumlah kamp penahanan di pulau Manus, Papua Nugini dan Nauru. Mereka tidak akan pernah menapakkan kaki di Australia. Saat ini, terdapat sekitar 1.200 orang berada di kamp-kamp itu.
Sebuah laporan PBB pada Oktober mengeluarkan kritik keras terhadap Nauru atas kegagalannya untuk melindungi anak-anak pencari suaka dari pelecehan seksual di dalam pusat penahanan yang dikelola Australia itu. Kunjungan Crepeau dilakukan di tengah kritikan terhadap Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull terkait proposal pemerintah untuk melarang para pencari suaka yang datang melalui jalur laut untuk memasuki Australia secara permanen.
Meskipun jika mereka tinggal di negara ketiga sebagai pengungsi murni mereka tidak akan diberi visa Australia di masa datang, bahkan visa untuk wisata dan bisnis sekalipun. "Kami menyambut para pengungsi, mereka memberikan sebuah kontribusi yang besar bagi Australia, namun kami dapat melakukannya karena kami dapat mempertahankan integritas dan keamanan perbatasan kami," Turnbull mengatakan kepada radio Australia (ABC).