REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo selesai menjalani pemeriksaan penyidik KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektorik. Usai diperiksa, Agus membantah disebut saksi Muhammad Nazarudin turut menikmati uang korupsi dari pengadaan proyek senilai Rp 6 triliun.
"Saya ingin menjelaskan bahwa kalau betul Nazar mengatakan saya menerima fee atau menerima aliran dana, saya menyampaikan itu fitnah dan bohong besar," ujar Agus Martowardojo di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (1/11).
Menurut Agus, hal itu pula yang ia jelaskan pada penyidik KPK dalam pemeriksaan. Selain itu, ia juga menjelaskan tentang tata pengelolaan keuangan negara, salah satunya untuk proyek KTP.
Kepada penyidik KPK, Gubernur Bank Indonesia itu menjelaskan tentang sistem keuangan negara di Indonesia sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 tentang Perbendaharaan Negara. Menurutnya, presiden sebagai kuasa pengelola keuangan negara mempunyai menteri keuangan yang membantu dalam mengelola keuangan negara sebagai bendahara umum negara dan mengelola otoritas fiskal negara. Namun, dalam hal ini yang bertindak sebagai pengguna anggaran adalah lembaga atau kementerian.
Dalam proyek e-KTP, Agus menyebut Kementerian Dalam Negerilah yang paling bertanggungjawab karena sebagai lembaga pengguna anggaran mulai perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran. Serta bertanggungjawab dalam proses lelang, pembuatan pengikatan, pengujian kemajuan project sampai pembayaran.
"Jadi ini semua tanggung jawab kementerian lembaga sedangkan kemenkeu dalam sistem anggaran lebih bertanggung jawab kalau nanti menerima permintaan penanggaran, melakukan pengujian, apakah anggarannya ada, apakah uangnya ada, apakah pencatatannya ada, apakah dalam pengurusan permintaan penganggarannya sudah betul baru transfer uang," ujar Agus.
Agus juga membenarkan perihal proyek e-KTP yang bersifat multityears disetujui oleh Kemenkeu. Karena menurutnya, hal itu disesuaikan dengan mata anggaran saat itu dan yang diajukan pengguna anggaran.
"Saat terima kontrak itu menkeu akan evaluasi antara lain didukung oleh adanya pandangan dari kementerian/lembaga yang memahami teknis proyek itu, yang bisa menyatakan proyek itu lebih dari 12 bulan," katanya.
Namun, ia membantah jika disebutkan pihaknya tak jeli dalam memutuskan proyek tersebut menjadi multiyears. Pasalnya, pertimbangan disetujui proyek itu karena pengguna anggaran mengajukan demikian karena tidak bisa menyelesaikan proyek selama satu tahun.
"Multiyears contract bukan hal yang salah beda dengan pelaksanaan anggaran karena multiyears contract justru untuk proyek yang tidak bisa selesai satu tahun dan Indonesia sedang mengejar pembangunan infrasktruktur dan semua tidak bisa selesai dalam waktu 1 tahun," katanya.
Ia juga membantah, kontrak proyek multiyears itu tidak disetujui menteri keuangan sebelum Agus, Sri Mulyani. "Saya dengar sebelum ini ada penolakan multiyears contract oleh Sri Mulyani, saya katakan di dalam file tidak ada penolakan dari Sri Mulyani, yang ada ketika multiyears contract mau diajukan ke menkeu diajukan 21 oktober 2010 dan di tanggal 13 Desember 2010 ditolak oleh saya karena yang diajukan bukan multiyears contract, tapi multiyears anggaran," katanya.