Rabu 02 Nov 2016 23:22 WIB

Ini Pengalaman Paling Berkesan Bagito di Usia 38 Tahun

Rep: Sri Handayani/ Red: Damanhuri Zuhri
Personel lawak Grup Bagito Hadi Wibowo alias Unang (dari kiri), Dedi Gumelar alias Miing, dan Didin Pinasti alias Didin saat bersilaturahim ke kantor Republika, Jakarta, Kamis (27/10).
Foto: Republika/ Wihdan
Personel lawak Grup Bagito Hadi Wibowo alias Unang (dari kiri), Dedi Gumelar alias Miing, dan Didin Pinasti alias Didin saat bersilaturahim ke kantor Republika, Jakarta, Kamis (27/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di sepanjang karir Bagito, ada dua pengalaman yang dinilai paling berkesan. Bagi mereka, kedua momen ini terasa mencekam dan meninggalkan kenangan yang tak bisa dilupakan hingga sekarang.

"Tahun 1994 kami diminta manggung di depan Soeharto. Kan nggak boleh ngomong sembarangan pada masa Orde Baru," ungkap Miing pada perayaan milad Bagito ke-38 di Jakarta, Rabu (11/2).

Tepatnya 20 Desember 1994, ibu negara saat itu, Tien Soeharto mengundang Bagito untuk manggung di Balai Sidang Jakarta. Secara protokol, ini dilarang mengingat Bagito dikenal dengan lawakan nakal yang sering kali mengkritisi pemerintah. Namun, Tien rupanya kekeuh dengan keinginannya.

Miing mengaku mendapat telepon dari petugas protokoler presiden saat siaran. Sejak saat itu, mereka mengaku tak tenang hingga hari-H tiba. Di tanggal 20 Desember, mereka datang ke Balai Sidang Jakarta menggunakan pakaian daerah.

Mereka sempat dilarang masuk sebab Unang didapati membawa senjata tajam berupa keris. Ia pun melontarkan candaan di hadapan petugas Paspampres. "Kaya nggak kenal Unang aja. Ini Unang lagi jadi Kardiman, mau manggung di dalam," kata dia.

Rupanya, lawakan Unang tak mampu menyentuh hati petugas Paspampres. Mereka baru diperbolehkan masuk setelah dibantu beberapa pejabat yang mereka kenal. Sembari menunggu waktu tampil, mereka diminta menunggu di belakang layar. Di sana, mereka dijaga dengan ketat oleh petugas. "Sekarang saya ingat namanya Syafrie Syamsudin," kata Miing. 

Tekanan psikologis sangat terasa sebelum manggung. Ketika itu, Miing melihat Syafrie menjulurkan kedua kakinya dan melihat pistol terselip. Menuju saat tampil, pembawa acara memanggil nama mereka secara formal seperti pakem acara-acara kenegaraan saat itu.

Pada saat lawakan dimulai, Miing merasa tekanan psikologis semakin kuat oleh suasana yang hening. Apalagi, beberapa pejabat militer tampak memandang kaku. Namun, mereka tak hilang akal.

Saat melihat Soeharto sempat tersenyum, Miing pun melemparkan candaan, menyindir suasana yang mencekam. "Kalau Bapak tidak tertawa, orang-orang yang ada di sini tidak ada yang berani tertawa, Pak," kata Miing mengulang leluconnya ketika itu.

Setelah mendengar kalimat itu, Soeharto terlihat tertawa diikuti oleh para hadirin. Mereka pun mendapat sambutan positif dari para pejabat.  Selesai acara, Bagito bergegas menuju tempat parkir. Mereka  bersumpah untuk tidak mau menerima tawaran manggung yang dibayar dari uang APBN.

Tak lama kemudian, seorang petugas datang mengejar Bagito sembari membawa honor mereka. "Ada petugas nanya kenapa honor nggak diambil? Jadi karena saking mencekam kami lupa mengambil honor. Pokoknya asal selamat aja," kata Miing disambut gerrr hadirin.

Petualangan mereka rupanya tak berhenti sampai di situ. Direktur RCTI ketika itu, Peter F. Gontha, mengajak Bagito bertemu di Grand Hyatt.  Ia menyampaikan kabar gembira tentang izin Indovision yang turun pertama kali.

Setelah itu, Peter mengajak mereka naik mobil menuju Jalan Cendana. Rupanya, Tien Soeharto kembali mengundang mereka dalam acara yang lebih privat. "Itu yang paling berkesan selama karir 38 tahun. Dengan itu Bagito makin kritis waktu itu," ungkap Miing.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement