Rabu 02 Nov 2016 23:52 WIB

Pencatatan Kekayaan Negara Terkendala Biaya

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Yudha Manggala P Putra
Tambang Batu Bara (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Tambang Batu Bara (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia masih belum bisa melakukan valuasi ulang atas kekayaan negara yang tersebar di seluruh Indonesia. Alasannya, butuh biaya yang besar untuk melakukan penilaian aset secara menyuluruh.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Sonny Loho mengungkapkan, kendala akan lebih terasa untuk melakukan penilaian atas aset negara berupa sumber daya alam seperti pertambangan, migas, dan hutan. Pemerintah harus berhadap dengan realitas keterbatasan anggaran apabila memang berniat melakukan valuasi aset secara total.

Sonny menyebutkan, tim penilai yang dibentuk khusus harus melakukan valuasi secara detil dengan mendatangi seluruh aset yang tersebar di negeri ini. Tim ini pun harus mempertimbangkan sisi sejarah dan nilai kandungan sumber daya alam baik selama masa eksplorasi atau ekspolitasi untuk pertambangan dan migas.

Sonny mengungkapkan, saat ini pihaknya masih mengkaji skema penilaian aset yang tidak akan menyedot banyak anggaran. Sejumlah negara, lanjutnya memiliki metode valuasi yang berbeda-beda. Indonesia akan merujuk ke sejumlah negara agar valuasi bisa dilakukan tanpa menghabiskan banyak anggaran.

"Kita baru mulai, expertisnya juga baru dikembangkan. Kemarin hutan lindung dinilai berapa di Sumatra Utara. Penilainya punya teknik sendiri. SDA memang lebih berat menghitungnya. Nanti kalau tambang, minyak, berapa potensinya, trus kalau sudah dieksplorasi berapa sisanya, itu mesti kita itung. Batu bara dan segalanya," kata Sonny di Kementerian Keuangan, Rabu (2/11).

Sonny menambahkan, kebijakan tentang kekayaan negara berupa sumber daya alam ini masih berbeda-beda di setiap negara. Seperti di Australia dan Selandia baru misalnya, kedua negara ini memasukkan sumber daya alam mereka ke dalam daftar kekayaan negara termasuk mencantumkan nilainya. Sedangkan Amerika Serikat memilih mendaftarkan seluruh aset negara berupa kekayaan alam tanpa menyebutkan nominal nilai aset mereka.

Indonesia, lanjutnya, akan berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menetapkan skema penghitungan kekayaan negara dalam bentuk sumber daya alam ini. Rencananya, Kemenkeu akan memasukkan sumber daya alam dalam subyek yang diaudit BPK, namun sebatas memberi tahu berapa potensi harta yang dihasilkan.

"Jadi kita masukkan sebagai tambahan informasi, misalnya dapat Rp 15 triliun. Ya, kita bilang kalau aset kita yang jelas ini ada sekian, tapi kita punya SDA misal Rp 15 triliun terdiri dari apa misal tambang dan hutan," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement