REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia meminta pemerintah untuk memberi perhatian serius terhadap permasalahan tata ruang di Tanah Air. Dengan begitu, konflik berkepanjangan mengenai tata ruang yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, investasi dan percepatan pembangunan infrastruktur bisa diatasi.
Hal ini diungkapkan Ketua Umum IAP Bernardus Djojoputro saat kongres IAP di Jakarta, Kamis (3/11). Kongres yang berlangsung dua hari ini menghadirkan sejumlah menteri Kabinet Kerja antara lain Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan A Djalil, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Bernardus mengatakan, konflik mengenai tata ruang semakin banyak terjadi belakangan ini. Konflik disebabkan kendala pengelolaan tata ruang lintas sektor yang tidak efektif. “Konflik tata ruang antarsektor yang berkepanjangan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, investasi dan pembangunan infrastruktur. Perpres No. 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang meliputi 250 proyek nasional dan 30 proyek prioritas juga mengalami kendala aspek aturan tata ruang,” kata Bernardus.
Menurut Bernardus, Indonesia pada faktanya masih tersandera oleh tumpang-tindih pengaturan lahan serta masih terfokusnya penerjemahan ruang pada daratan. Hal ini menyebabkan adanya kekosongan aturan, norma hingga petunjuk pelaksanaan terhadap dimensi ruang tanah, bawah tanah, laut, bawah laut, udara hingga ruang budaya.
IAP juga meminta pemerintah agar mempertegas komitmennya dalam menyelenggarakan manajemen perkotaan dan pedesaan. Menurut Bernardus, saat ini belum terlihat langkah-langkah nyata pemerintah berkaitan dengan agenda perkotaan, tata ruang maupun desa yang dikaitkan dengan visi 20-30 tahun ke depan.
Akhirnya, kata dia, berbagai konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah kota bermunculan disebabkan karena pengaturan rencana tata ruang tidak melalui bottom up planning yang komprehensif. Contoh, dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta, termasuk juga di Bali. “Kita belum melihat bagaimana pemerintah secara eksplisit memasukkan agenda carrying capasity, pengentasan kemiskinan, pengurangan kawasan kumuh, penyediaan air bersih kepada masyarakat maupun penyediaan perumahan rakyat,” katanya.