Kamis 03 Nov 2016 22:00 WIB

Potensi Ekonomi Digital Capai 130 Miliar Dolar AS

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memberikan sambutannya saat kerjasama BRI dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait program satu juta domain di Gedung BRI, Jakarta, Rabu (2/11).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memberikan sambutannya saat kerjasama BRI dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait program satu juta domain di Gedung BRI, Jakarta, Rabu (2/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan potensi ekonomi digital Indonesia diprediksi mencapai 130 miliar dolar AS pada tahun 2030. Namun demikian, masih banyak tantangan yang harus diselesaikan untuk merealisasikan potensi tersebut secara berkualitas dan berkeadilan.

"Bahkan dalam rapat di Istana kemarin, Menkeu Sri Mulyani meminta target pertumbuhan yang tinggi dari sektor Kemenkominfo pada 2018, setelah sektor keuangan dan perbankan," kata Rudiantara.

Menteri Rudiantara menyampaikannya saat menjadi pembicara kunci pada diskusi yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) seperti dikutip dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (3/11).

Saat ini, jelas Menkominfo, backbone, broadband, dan kapasitas jaringan Indonesia masih tertinggal jauh dari negara lain.

Setidaknya dibutuhkan 12 miliar dolar AS per tahun untuk meningkatkan kemampuan digital Indonesia secara nasional.

Sementara itu, apabila kemampuan keuangan seluruh operator telekomunikasi di Indonesia digabungkan pun tetap tak akan mampu menutup biaya tersebut, bahkan masih ada kesenjangan sebesar 9 miliar dolar AS.

Padahal, pertumbuhan industri telekomunikasi nasional ditargetkan harus mencapai "double digit" pada 2018, sesuai arahan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio mengatakan pemerintah sebaiknya segera mengesahkan revisi PP no. 52/53 untuk mengakhiri polemik sehingga masyarakat cepat mendapatkan manfaat dan menjadi katalisator untuk perkembangan ekonomi digital Indonesia.

Dikatakannya network sharing itu membangun bersama-sama secara gotong royong sehingga jaringan broadband bisa direalisasikan lebih cepat dengan biaya yang lebih efisien.

Menurut pakar telekomunikasi Nonot Harsono, banyak disebarkan opini yang keliru yang menghambat revisi PP ini.

Opini keliru yang pertama itu adalah RAN sharing diinfokan numpang BTS, yang benar ini dibangun secara gotong royong. "Backbone sharing dibilang penumpang gelap, padahal tetap bayar sewa, utilitas naik dan revenue pemilik backbone meningkat," ujarnya.

Sedangkan dari sisi persaingan usaha, Prof. Dr. Ir. Tresna Priyatna, Anggota Komisioner Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan bahwa konsep active infrastructure sharing adalah positif dalam konteks persaingan.

Ia mengatakan konsep tersebut menghilangkan potensi penyalahgunaan posisi dominan kepemilikan infrastuktur oleh operator besar. "Keterbukaan infrastructure, network, dan interkoneksi memungkinkan pemain baru yang kompeten untuk masuk ke pasar dengan cepat," katanya.

Seminar ini dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara sebagai keynote speaker, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Achmad M. Ramli.

Selanjutnya, Ketua INDEF Eni Sri Hartati, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, pakar telekomunikasi Nonot Harsono, Ketua YLKI Tulus Abadi, dan Anggota Komisioner KKPU Prof. Tresna Priyatna.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement