REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga hari menjelang Lebaran 2016, ratusan rumah semipermanen di Jalan Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta Barat, ludes terbakar api. Ratusan orang harus mengungsi.
Mereka kehilangan rumah saat hendak merayakan Idul Fitri 1437 Hijriyah. Dalam situasi sulit itu, belasan komunitas kemanusiaan berkumpul. Mereka bahu-membahu untuk membangun kembali tempat tinggal warga.
Berbekal jaringan yang mereka punya, para relawan ini pun sigap menggalang dana. Mereka mencoba mengetuk pintu hati sesama Muslim yang hendak merayakan Idul Fitri untuk berbagi dengan warga yang baru kehilangan rumah. Ahmad Zaki, relawan dari Dongeng Ceria, berkisah mereka memilih untuk tidak mengajukan proposal ke lembaga kemanusiaan atau pemerintah agar bantuannya bisa maksimal.
Mereka berkampanye lewat dunia maya. Facebook, Twitter, Instagram, hingga Whatsapp untuk mengumpulkan donasi. Dari dana yang didapat, limapuluh rumah permanen pun dibangun untuk para pengungsi.
Lepas dari peristiwa Simprug, gerakan ini pun bersinergi menjadi satu komunitas baru berlabel Gerak Bareng. Zaki yang menjadi salah satu pendiri menjelaskan, komunitas ini bertujuan untuk tidak hanya membantu permasalahan yang diderita mustahik.
Mereka ingin melakukan pendampingan dengan tuntas. "Pola kita crowdfunding. Donasinya memang enggak pakai proposal tapi lewat Facebook, SMS dan Whatsapp,"kata Zaki saat berbincang dengan Republika akhir pekan lalu.
Dilansir dari Wikipedia, crowdfunding merupakan fenomena baru penggalangan dana dengan penggunaan media sosial. Crowdfunding dalam kehidupan modern pertama kali dilakukan pada 1997. Saat itu, grup musik rock asal Inggris, Marillion, mendapat dana dari fan mereka ketika hendak tur ke seantero Amerika Serikat.
Fan Marillion mengumpulkan sumbangan via online tanpa keterlibatan band. Dari dana tersebut, Marillion bahkan berhasil mendanai rekaman album mereka.
Pola ini digunakan Zaki untuk mendanai proyek-proyek kemanusiaan. Dari membangun rumah korban banjir bandang Garut hingga pendampingan untuk pasien dhuafa. Hingga kini, Zaki bersama komunitasnya pun masih mendampingi dua pasien kanker dan tumor yang dirawat di RSCM, Jakarta.
"Untuk Rifki, pasien tumor wajah donasinya diperkirakan membengkak sampai Rp 300 juta," ujar dia.
Zaki menjelaskan, Gerak Bareng tidak memilih mustahik sembarangan. Selain berstatus sebagai dhuafa, orang yang dibantu harus benar-benar dalam kondisi darurat. Tak hanya itu, mustahik pun berasal dari keluarga Muslim yang taat.
Syarat tersebut, kata dia, membantu Gerak Bareng lebih mudah melakukan pendampingan. Syarat lainnya, kata dia, mustahik harus mendapatkan rekomendasi dari anggota komunitas lainnya. Jika semua itu terpenuhi, mereka akan turun ke lapangan untuk melakukan pendampingan.
Namun, Zaki mengaku masih banyak donaturnya yang menyembunyikan identitas saat berdonasi. Para 'hamba Allah' ini menyalurkan rekening tanpa mau mencantumkan nama. "Tadinya ada 30 persen. Tapi setelah dikasih edukasi menurun jadi 20 persen," ujarnya. Saat ini, kata Zaki, komunitasnya memiliki kas sosial senilai Rp 500 juta. Jumlah itu pun akan terus bertambah seiring kebutuhan.