REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Meningkatnya risiko serangan siber membuat perekonomian Australia berpotensi alami kerugian sebesar $16 miliar dalam satu dekade mendatang. Demikian disampaikan Lloyd's, salah satu perusahaan asuransi terbesar di dunia.
Dalam studi yang dilaksanakan bersama Cambridge University, raksasa asuransi Lloyd's mengungkapkan dari 301 kota dunia, Sydney menempati peringkat ke-12 terkait kerawanan serangan siber dengan risiko pada pertumbuhan ekonomi senilai 4,86 miliar dolar AS.
Dalam City Risk Index 2015-2025, Lloyd's menyatakan Sydney merupakan kota paling berisiko di Australia, disusul Melbourne, Brisbane, Perth, Adelaide dan Canberra. Secara global, Lloyd's memperingatkan bahwa ada risiko sebesar 294 miliar dolar AS sejalan dengan upaya serangan siber yang semakin nyata.
Peringatan ini disampaikan setelah bukti-bukti upaya serangan siber di Bureau of Meteorology, Australian Bureau of Statistics serta Reserve Bank of Australia.
Bisa Jadi Sasaran
CEO global Lloyd's Inga Beale kepada ABC menjelaskan menghadapi ancaman serangan siber saat ini sangat penting bagi semua kalangan bisnis. "Bukan hanya kalangan perbankan yang perlu khawatir. Ini juga berdampak ke retailer, perusahaan travel dan hospitaliti, penyedia jasa pendidikan dan kesehatan, serta setiap bisnis yang memiliki informasi yang perlu diproteksi," jelas Beale.
"Jika satu dekade silam orang bicara tentang pencegahan serangan siber, nyatanya perusahaan-perusahaan sekjarang jadi sasaran serangan," katanya. "Isunya adalah bagaimana memitigasinya".
Australian Cyber Security Centre belum lama ini menyatakan serangan siber telah menarget sistem lembaga-lembaga pemerintahan dengan 1.095 kejadian yang dipandang serius sehingga memicu respons operasional. Studi Lloyd's merujuk pada laporan perusahaan akuntansi PWC yang menyoroti kenaikan 109 persen dalam kejadian yang terdeteksi di berbagai perusahaan Australia, dibandingkan dengan 38 persen rata-rata global.
Dalam rancangan UU yang kini ada di Parlemen Australia, perusahaan yang diretas dan kehilangan informasi pribadi, nomor wajib pajak, catatan medis atau informasi kartu kredit mereka, akan diminta melaporkan serangan tersebut dan memberitahu konsumennya.
"Hanya awal"
Namun Beale memperingatkan meskipun perusahaan besar dan lembaga pemerintahan paling berisiko, namun individu pun memiliki risiko terkait informasi pribadi mereka di ponsel pintar atau komputernya. "Kita hidup di duni dimana orang membawa super komputer yang terkoneksi secara global di dalam sakunya. Dan hampir semua dokumen penting tersimpan di cloud (penyimpanan maya) di server atau online," kata Beale.
"Hasilnya adalah merebaknya potensi risiko serangan siber. Pelanggaran data terkenal yang paling baru hanyalah awal saja. Dengan munculnya the Internet of Things maka potensi risiko serangan siber pun sangat besar," katanya.
Sebagai salah satu perusahaan asuransi utama di dunia, Lloyd's kini melihat permintaan perlindungan asuransi terhadap serangan siber menjadi kian penting dari kegiatan bisnis asuransi tradisional yang mengasuransikan bencana alam dan musibah.
Lloyd's menyatakan menyatakan permintaan asuransi siber di Australia meningkat 16,828 persen dalam dua tahun terakhir karena kalangan bisnis mencari perlindungan terhadap ancaman terkini dan yang baru muncul. Indeks Lloyd's menunjukkan cakup risiko termasuk putusnya pasokan listrik, terorisme, sovereign default, kejutan harga minyak, gelombang panas, kemarau dan banjir.