REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat terus berupaya meningkatkan populasi rusa yang terancam punah akibat perburuan liar. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Barat (NTB) Widada mengatakan rusa merupakan satwa maskot NTB yang dilindungi undang-undang, namun populasinya di dalam kawasan hutan diperkirakan terus berkurang akibat perburuan liar.
"Kami berkewajiban melindungi keberadaan satwa dilindungi tersebut. Jangan sampai kita hanya bisa melihat rusa di logo saja," katanya, Sabtu (5/11).
Selain melibatkan masyarakat, kata dia, upaya memperbanyak populasi rusa juga akan dilakukan melalui pemanfaatan lahan TWA Gunung Tunak, di Kabupaten Lombok Tengah. BKSDA NTB akan membuat semacam "sanctuary" atau zona pemeliharaan rusa seluas 2.000 meter persegi dari total luas TWA Gunung Tunak 312 hektare. Program tersebut akan dilaksanakan pada 2017.
Jumlah rusa yang akan ditangkarkan di kawasan konservasi yang sering dikunjungi wisatawan asing tersebut sebanyak 30 ekor, terdiri atas 24 ekor betina dan 6 ekor jantan. "Harapannya setiap tahun populasi akan bertambah. Nanti setelah jumlahnya relatif banyak, sebagian kita lepas ke alam bebas," ucap Widada.
Ia memperkirakan populasi rusa di kawasan konservasi Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa hanya 100-an ekor dan di Taman Nasional Gunung Tambora, Pulau Sumbawa, sekitar 200 ekor. Populasinya dikhawatirkan akan terus menyusut. Sebab, masih sering ditemukan masyarakat di Pulau Sumbawa, mengonsumsi dendeng rusa yang diduga hasil perburuan liar di kawasan hutan.
Sementara populasi di Taman Nasional Gunung Rinjani, Pulau Lombok, belum diketahui berapa banyaknya.
Untuk yang dipelihara di Taman Wisata Alam (TWA) Suranadi, Kabupaten Lombok Barat, hanya 9 ekor. Selain di alam bebas, kata Widada, ada juga rusa yang dipelihara oleh masyarakat setelah mendapatkan izin. Jumlah populasinya 400 ekor.
"Yang ditangkarkan oleh masyarakat, indukannya berasal dari BKSDA. Itu satwa indukan titipan untuk memperbanyak populasi," ujarnya.