REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Kejahatan dunia siber (cyber crime) menjadi salah satu fokus utama pembahasan Sidang Umum Interpol ke-85 di Nusa Dua, Bali. Sekretaris Jenderal Interpol, Jurgen Stock mengatakan kejahatan ini menjadi fenomena global sebagai akibat berkembangnya teknologi dan internet yang sangat kompleks.
"Kelompok teroris berhubungan dengan internet. Ini menjadi problem bagi negara penegak hukum yang mencari bukti investigasi, bukti enskripsi menggunakan teknologi," kata Stock di Nusa Dua, Senin (7/11).
Negara-negara anggota Interpol, kata Stock perlu melakukan proteksi untuk memerangi terorisme asing lewat internet dan teknologi. Dia mencontohkan militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang juga dinilainya bergerak cepat karena memanfaatkan perkembangan internet dan teknologi.
"Kami menyoroti radikalisasi yang menggunakan platform internet," katanya.
Salah satu mitra Interpol di bidang kejahatan siber, Trend Micro melakukan perbaikan dan standardisasi kemampan investigasi kejahatan siber dari organisasi kepolisian negara-negara anggota Interpol. Trend Micro mendukung pelatihan penyelidikan Interpol, misalnya memberikan pengetahuan tentan metode serangan yang mencoba mengeksploitasi email, website, dan jaringan teknologi.
"Berbagai kelompok kriminal siber bekerja secara global di berbagai perusahaan, perbatasan negara, pemerintah, dan organisasi tanpa meninggalkan jejak apapun. Datanya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir," kata CEO Trend Micro, Eva Chen.
Trend Micro mendeteksi kejahatan siber yang terkait dengan command and control server (C&C server) paling banyak terjadi di Amerika Serikat (38,20 persen), India (12,20 persen), Jepang (7,43 persen), Turki (4,71 persen), dan Jerman (4,16 persen). Kejahatan siber yang terkait dengan malicious URL tervanak terjadi di Amerika Serikat (27,67 persen), Cina (6,44 persen), Rusia (2,84 persen), Portugal (2,37 persen), dan Belanda (2,26 persen).