REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Hukum Pidana, Suhardi Somomoeljono menilai sebenarnya sangat mudah untuk melakukan pembuktian terhada kasus penistaan agama. Namun mengapa akhirnya dibuat sangat rumit, seperti untuk kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Delik menista agama itu salah satu unsurnya adanya keresahan masyarakat," kata mantan Ketua Umum Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), Senin (7/11).
Dalam hukum pidana, lanjutnya, Pasal. 156 (a) 'menista' dalam buku 2 Bab XVI KUHP tidak perlu adanya 'animus in juriandi' yakni 'niat untuk menghina' bahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, perbuatan tersebut diartikan 'dalam bentuk penghinaan' baca Mahkamah Agung RI no.37K/Kr/1957.21.12.1957 juncto no.71K/Kr/1973.14.7.1976.
Hukum pidana itu juga, menurutnya mengajarkan jika ada kejahatan, penegak hukum dapat segera melakukan upaya preventif. Sehingga tidak perlu menunggu akibat dari perbuatan (kerugian), wajib langsung bekerja begitu ancaman terhadap kepentingan hukum muncul.
Misal tindakan menghasut, penghujatan terhadap Tuhan. Bahkan, kata dia, dalam hukum pidana Belanda tindak pidana penghujatan terhadap Tuhan, jaksa tidak perlu membuktikan, bahwa ada perasaan yang tersinggung bisa diambil tindakan. Karena delik menista agama itu salah satu unsurnya keresahan di masyarakat.