REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam masuk ke Mesir sekitar abad ke-10. Saat itu kekhalifahan Fathimiah membuat Mesir menjadi pusat perdagangan mereka. Mesir berkembang dan jaringan perdagangan khalifah Fathimiah terus diperluas hingga Mediterania dan Samudera Hindia.
Perdagangan dan hubungan diplomatik diperpanjang sampai Cina, yang akhirnya menjadi penentu jalannya ekonomi pada Abad Pertengahan. Salah satu arsitektur peninggalan kekhalifahan Fathimiah ini, yaitu Universitas Al-Azhar yang terdapat di Kairo.
Sebelum invasi Napoleon pada 1798. Hampir semua sektor kehidupan di Mesir berada di bawah fungsionaris agama. Seperti bidang pendidikan, hukum, kesehatan masyarakat, masalah sosial, dan kesejahteraan.
Namun, pada abad ke-19 dan ke-20, pemerintah membuat peraturan sebagai upaya untuk membatasi ulama dalam kehidupan publik dan membawa lembaga agama di bawah kendali negara.
Setelah Revolusi Mesir 1952, pemerintah bertanggung jawab untuk menunjuk pejabat masjid dan sekolah agama. Pemerintah juga mengamanatkan reformasi Universitas Al-Azhar pada 1961.
Kebebasan
Konstitusi di Mesir memberikan kebebasan berkeyakinan dan praktik agama. Namun, pemerintah memberlakukan pembatasan pada hak ini. Menurut konstitusi, Islam adalah agama resmi negara dan syariat adalah sumber utama legislasi.
Dalam praktik hukum keluarga, negara hanya mengakui tiga agama. Yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi. Keluarga Muslim tunduk pada UU Status Pribadi, yang mengacu pada syariat (hukum Islam). Keluarga Kristen tunduk pada hukum Kanon, dan Keluarga Yahudi tunduk pada hukum Yahudi.
Pada Desember 1999, Presiden Mubarak menerbitkan peraturan terkait perbaikan semua tempat ibadah. Keputusan ini memberi dampak signifikan, karena menempatkan gereja dan masjid sama di depan hukum. Dengan adanya peraturan ini, banyak masjid dan gereja diperbaiki.