REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang beberapa kali bertemu dengan Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah dinilai sebagai strategi cerdik. Ini karena keduanya masih dikenal merupakan organisasi massa (ormas) Islam terbesar di Indonesia.
Namun demikian, pada aksi 4 November, Jokowi tidak menemui para peserta aksi. Hal ini membuatnya berpotensi kehilangan kepercayaan rakyat. Pakar komunikasi politik dari Universitas Budi Luhur Umaimah Wahid mengatakan, apabila pemilihan Presiden (pilpres) dilaksanakan saat ini, maka ada kemungkinan Jokowi mengalami penurunan suara signifikan.
"Kalau pilpres-nya sekarang iya, akan ada goyangan," ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa (8/11).
Kendati demikian, langkah Jokowi menemui dua organisasi Islam terbesar tersebut juga patut diapresiasi. "Ini bisa jadi representasi, ketika NU dan Muhammadiyah anggap ini aman, mungkin tidak akan terjadi polemik panjang," kata dia.
Meski terancam kehilangan suara, namun realitanya, pilpres baru akan dilakukan 2019. Dalam rentang waktu tiga tahun ini, Jokowi masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki citranya. Umaimah menyebut cukup mudah mengelola personal branding, apalagi jika media menjadi bagian dari pendukungnya.
Menjelang pilpres 2019, dia memprediksi pasti ada upaya dari Jokowi untuk mengubah dirinya menjadi seperti yang masyarakat inginkan. Ditambah lagi masyarakat Indonesia mudah lupa dan kerap berlaku baik. Dia menyarankan Jokowi mengedepankan upaya persuasif dan komunikasi politik dengan berbagai cara, sehingga persepsi negatif berubah menjadi positif.