Rabu 09 Nov 2016 14:30 WIB

Istana Maimoon Jaga Kedekatan Sultan dan Rakyatnya

Rep: Rid/Sya/Berbagai Sumber/ Red: Agung Sasongko
Istana Maimun di Medan, Sumut
Foto: Blogspot
Istana Maimun di Medan, Sumut

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan sebuah istana di tanah Melayu selain menunjukkan kemapanan sistem pemerintahan, juga kematangan tradisi dan budaya masyarakat yang dihasilkan dari dialektika panjang dengan budaya-budaya luar. Istana Maimoon yang terletak di Jalan Brigjen Katamso No 55, Medan, Sumatra Utara, membuktikan fakta di atas.

Ada nilai sejarah dan budaya yang menyelimuti perjalanan istana yang didominasi warna kuning itu. Sejarah yang dicatat beberapa ahli menguak bagaimana hubungan politik, ekonomi, dan budaya terjalin antara masyarakat Melayu dan pihak luar sehingga melahirkan ciri-ciri kebudayaan yang unik dan termanifestasikan melalui elemen-elemen bangunan dalam istana.

Sementara itu, nilai budaya yang berkembang di seputar istana merupakan sistem kepercayaan masyarakat lokal yang diwariskan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian, meskipun wujud Istana Maimoon telah melintasi beberapa generasi, nilai-nilai kulturalnya masih tetap terjaga.

Nilai sosio-kultural

Nilai budaya yang mencuat dari Istana Maimoon tidak hanya berasal dari keindahan arsitekturnya, tetapi juga dari tata letaknya. Letak istana menyatu dengan masjid dan lapangan terbuka. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tidak ada tembok yang memisahkan ketiganya sehingga memungkinkan bagi masyarakat umum mendekati bahkan memasuki area istana.

Tentu saja ini menjadi pemandangan menarik, mengapa sebuah istana tidak dikelilingi tembok-tembok yang kokoh guna melindungi sultan dan keluarganya dari gangguan luar? Di sinilah letak perbedaan model kepemimpinan antara kesultanan Melayu dengan kekaisaran di Jepang, Cina, atau kerajaan-kerajaan di daratan Eropa.

Seorang kaisar atau raja di luar kawasan Melayu diyakini sebagai manusia setengah dewa yang tidak tersentuh bahkan hampir tidak pernah terlihat oleh rakyatnya sendiri. Alasan keamanan memaksa mereka hidup di balik tembok-tembok besar juga tinggi dan dijaga ribuan prajurit.

Fenomena semacam itu tidak terjadi di tanah Melayu. Konsep keamanan bagi kesultanan Melayu dibangun di atas saling percaya antara sultan dan rakyatnya. Sultan menjamin keamanan, keadilan, dan kemerataan ekonomi terhadap semua rakyat. Melalui kebijakan tersebut, rakyat bukanlah ancaman, melainkan partner yang bisa diajak berdialog dan bekerja sama membangun pemerintahan yang baik.

Dalam istilah Melayu dikenal ''Sultan ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah.'' Artinya, seorang sultan hanyalah manusia biasa yang memang harus dijunjung dan dihormati, namun tidak melebihi tinggi ranting dan dikedepankan tidak lebih dari satu langkah. Dengan demikian, seorang sultan masih dapat dilihat, disapa, bahkan disentuh oleh rakyatnya. Sultan dan rakyat bukanlah dua entitas yang berbeda, tetapi merupakan dua unsur masyarakat yang saling melengkapi. Oleh sebab itu, seorang sultan tidak perlu berlindung di balik tembok besi, karena sejatinya rakyat sendiri merupakan benteng yang kokoh bagi sultan dan keluarganya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement