Perang kemerdekaan tak bisa lepas dari ikon ‘granggang’ (bambu runcing.). Senjata tradisional yang dibuat dari bambu yang ujungnya diruncingkan telah dikenal luas. Senjata ini sudah mulai dipakai dalam ketentaraan semenjak pendudukan Jepang. Dari beberapa foto tua, tampak prajurit Peta berlatih menggunakan bambu runcing. Mereka memperlakukan bambu runcing layaknya senjata bayonet.
Dan bila pada hari ini, 19 Desember 2016, (agrersi Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948), adalah hari ulang tahun penyerbuan Belanda ke Yogyakarta, maka soal bambu runcing harus juga dibahas. Bahkan, ketika nanti memperingati peristiwa penting lainnya, misalnya ketika Kolonel Sudirman berhasil mempecundangi pasukan Inggris di Ambarawa (dikenal dengan Palagan Ambarawa, 15 Desember 1945), ternyata semangat heroisme pejuang saat itu juga terkait dengan soal bambu runcing.
Maka, ketika memperingati peristiwa bersejarah tersebut, pada sisi lain memang tidak juga bisa terlepas dari kenangan atas jasa para pejuang laskar Hizbullah dan para ulama. Bahkan, khusus untuk soal penggunaan bambu runcing, maka dipastikan akan terkait dengan peran dari KH Subkhi, dari Pondok Pesantren Parakan. Letak pesantren ini berada di 'kota sejuk’ Temanggung dan tak jauh dari salah satu markas tentara Belanda yang berada di Ambarawa.
Saat itu, kaum Muslim, khususnya para pejuang, sangat percaya akan tuah dari bambu runcing bila sudah didoakan oleh Kiai Subkhi. Bahkan saking terkenalnya, masa rakyat beramai-ramai mendatangi pesantrennya. Jalur kereta api (kini rutenya sudah dimatikan) yang menuju kawasan Temanggung kala itu selalu penuh disesaki penumpang yang membawa sebatang bambu dengan panjang dua meter yang ujungnya diruncingkan itu. Mereka datang untuk meminta ‘karomah’ dari kiai tersebut.