REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menegaskan, Indonesia butuh pemberantasan korupsi secara represif. Menurutnya, pencegahan tersebut cocok diterapkan di negara dengan tingkat korupsi tinggi.
"Indonesia kurang tepat pencegahan. Penegakan hukum represif yakni tanpa pandang bulu, proaktif, tak biasa, itulah KPK," kata dia dalam Seminar Nasional Anti Korupsi di Universitas Indonesia (UI), Sabtu (12/11).
Samad menuturkan, sebelum ada KPK, pemberantasan korupsi dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. Namun, menurutnya, sifat penegakan hukumnya sangat biasa. Sehingga, tidak ada yang bisa mengukur tingkat keberhasilannya.
"Pendekatan yang dilakukan kurang tepat. Kalau mau mengobati penyakit, harus tau apa sebab penyakitnya. Sehingga kita harus progresif," ujar Samad.
Ia menuturkan, KPK Jilid III dibawah kepemimpinannya mencoba menerapkan roadmap dalam pencegahan, pemberantasan dan pengobatan kasus korupsi. Peta tersebut utuk mencegah KPK menjadi serampangan saat bertindak, khususnya dalam mengusut korupsi berskala besar.
Samad menjelaskan, korupsi berskala besar bukn tentang besaran nominal, tetapi tentang siapa pelakunya.
"Orang yang mempunyai kekuatan, ada kasus korupsi yang ditangani KPK. Mungkin jumlahnya tak signifikan, tapi lihat pelakunya, mungkin orang yang punya kekuatan," jelasnya. Ia menyebut, korupsi di Indonesia sangat sistematik. Tidak ada elemen yang terbebas dari korupsi.
"Korupsi saja terjadi di kepolisian dan kejaksaan," jelasnya.