REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Survey Poltracking, Hanta Yudha meminta semua pihak tidak terburu-buru untuk mengambil kesimpulan pemenang dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Sebab, pemilih di DKI Jakarta merupakan para pemilih yang rasional sehingga elektabilitas tidak bisa terukur dari populernya pasangan calon.
"Jangan buru-buru ambil kesimpulan siapa yang menang. Harus lihat pasangan dikenal dan disukai, yang modal awal itu disukai dan dikenal. Kalau di Jakarta otomotasi menang, tingkat kesukaan memang modal, tapi tidak bisa terkonversi karena lektabilitas tak bisa terukur," ujar Hanta di Jakarta, Sabtu (12/11).
Ia pun menjelaskan, dari segmentasi kelompok pemilih ada tiga perilaku, yaitu rasional, sosiologis, dan psikologis. Rasional di Jakarta cukup besar dengan warga yang kritis. "Yang kedua pengaruh media sangat tinggi dan pengaruh politik uang sangat rendah hampir di bawah 10 persen," katanya.
Namun, kemantapan pemilih juga rendah, sehingga pemilih yang berpindah pilihan pun masih tinggi. Kemudian mereka yang belum menentukan pilihan dan fluktuatif juga masih ada. "Itu karakterstiknya. Sehingga survey bisa berubah dan jangan buru-buru menentukan siapa yang menang di DKI, ketiganya punya peluang menang. Masih ada tiga bulan," ujar Hanta.
Untuk Sosiologis bisa dilihat dari pemilih yang memilih pasangan calon karena memiliki kesamaan asal daerah atau agama. Sementara psikologis dilihat dari situasi hati kepada pasangan calon, sebagai contoh adalah ketampanan dari pasangan calon tersebut.
Terakhir, untuk pemilih rasional, biasanya memilih karena gagasan visi misi, di mana poinnya adalah semua ada segmentasi sendiri yang perlu diperhatikan. "Kuncinya adalah orang yang belum menentukan pilihan adalah penentu pemenangan Pilkada, kedua adalah swing voters bisa saja bergerak tingkat kemantapan bergerak, makanya jangan ambil kesimpulan terlebih dahulu," katanya.
Sementara itu, peneliti Lingkar Survey Indonesia, Aji Al Faraby mengatakan, ada tiga hal yang harus dilakukan pejawat Ahok-Djarot untuk bisa memenangkan Pilkada DKI 2017. Pertama, merebut kembali suara pemilih Muslim.
"Itu fakta yang disampaikan, muncul, bilang ada isu SARA, karena survey baca fakta sosial," katanya.
Dia mencontohkan pemilihan presiden AS dengan kemengan Donlad Trump. Ada faktor sosiologis di pemilih Muslim mengalami penurunan dari 27 persen jadi 18 persen untuk pejawat. Sentimen agama sebenarnya sudah muncul sebelum kasus penistaan agama dan semakin menguat sejak kasus tersebut mencuat. "Ini problem dia (Ahok). Kedua status hukum Ahok juga mempengaruhi apakah suaranya bisa direbut kembali," jelasnya.
Sementara untuk Agus Harimurti Yudhoyono dan Anies Baswedan harus menarik pemilih yang belum menetentukan pilihan. Ada sebanyak 35,4 persen pemilih rasional, yakni mereka yang tidak terkena sensitivitas agama dan lebih moderat yang belum menentukan pilihannya. Sehingga, seberapa kuat pasangan calon harus bisa menarik suara pemilih rasional tersebut.