REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Muak dengan sikap presiden terpilih Donald Trump, unjuk rasa terus terjadi di kota-kota besar di Amerika Serikat. Para pelajar memilih meninggalkan kelas-kelas mereka dan turun ke jalan-jalan di Negeri Paman Sam untuk ikut melakukan unjuk rasa anti-Trump.
Para pengunjuk rasa melakukan blokade jalan di mana-mana. Mereka juga berkelahi dengan polisi.
Para pengunjuk rasa turun ke jalan untuk menyuarakan rasa takutnya tinggal di Amerika sejak Trump terpilih. Mereka takut jika dideportasi ke negara asalnya, dikurangi hak-haknya untuk melakukan kontrol terhadap kelahiran.
Mereka juga takut terjadinya peningkatan kekerasan karena peningkatan sikap rasisme di Amerika. Bahkan ada pengunjuk rasa yang takut terjadi genosida terhadap etnis tertentu di Amerika.
Seorang pengunjuk rasa di New York, Kimie Liu (40 tahun) mengatakan, ia harus melakukan unjuk rasa di depan Trump Tower. "Saya mengajak anak saya unjuk rasa di sini karena Amerika merupakan masa depannya. Namun Trump selalu mengatakan hal-hal yang mengerikan, saya tak akan duduk diam saja dan membiarkan kebencian yang ditularkan Trump menang di Amerika," katanya seperti dilansir New York Times, Sabtu (12/11).
Pengunjuk rasa lainnya, Shake Topalian (71 tahun) mengatakan, ia merupakan anak imigran dari Armenia yang dilahirkan di Amerika. "Saya takut jika terjadi genosida di Amerika seperti dulu yang terjadi di negara asal orangtua saya. Makanya saya berdiri di sini untuk memastikan genosida tak akan terjadi lagi, saya menolak hanya jadi penonton saja, saya harus turun ke jalan."
Seorang transgender, Fin Justin (20 tahun) mengatakan, ia datang dari New Jersey untuk melakukan unjuk rasa. "Saat Trump memenangkan pemilihan presiden, pikiran pertama saja hanyalah ingin kembali ke toilet."
Berbagai unjuk rasa yang terjadi di Amerika dikoordinasi oleh aktivis lokal. Namun organisasi internasional seperti Rasial Justice dan National Action Network juga mendukung unjuk rasa tersebut.
Panggilan untuk melakukan unjuk rasa dilakukan melalui Facebook maupun berbagai media sosial lainnya. Rupanya media sosial tersebut cukup efektif untuk mengkoordinasikan unjuk rasa.