REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON -- Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat dinilai sangat mengejutkan. Hal ini karena sebagian besar media di Negeri Paman Sam dan juga lembaga survei memprediksi Hillary Clinton-lah yang keluar sebagai pemenang.
Pada 30 September 2016, San Diego Union Tribune membuat sejarah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah media tersebut mendukung kandidat Demokrat, Hillary. Begitu juga untuk Detroit News, dan Republik Arizona. Trump tidak populer di koran AS. Lebih dari 200 surat kabar mendukung Clinton, sementara Trump menerima dukungan kurang dari 20.
The Washington Times misalnya, menyatakan bahwa Trump tidak sempurna dan mengakuinya sebagai sosok vulgar dan kasar. Apa yang dilakukan media AS seolah memberi kesan bahwa Trump memiliki banyak musuh. Namun kemenangan Trump seolah menjadi tendangan brutal pada 'gigi' mereka, sekaligus 'penghinaan' bagi ribuan wartawan yang telah menghabiskan waktu berbulan-bulan yang mencoba memperingatkan masyarakat tentang Trump.
"Fakta pencalonan Donald Trump adalah bukti kegagalan jurnalisme," ujar profesor Jeff Jarvis dari Pusat Jurnalisme Kewirausahaan Tow-Knight City University New York seperti dikutip dari BBC News, Ahad (13/11).
Pendukung Hillary tersebut melihat keberhasilan Trump adalah tanda bahwa media gagal mengkomunikasikan kebenaran dengan kekuatan yang cukup. Menurut Jarvis, surat kabar gagal menceritakan kisah nyata dan televisi memberikan Trump 'pintu masuk gratis'.
Selama ini, ada dua asumsi besar terkait media, yakni industri media memiliki tujuan moral dan televisi merupakan media paling kuat. Pada 1968 Roger Ailes, bos masa depan Fox News, memiliki masalah yakni bagaimana mendapatkan Richard Nixon di televisi tanpa dikendalikan dan disaring oleh persaingan media. Solusinya adalah dia membuat program spesial televisi yang dipentaskan Nixon dan menawarkan pada stasiun televisi.
Setelah 48 tahun, CNN secara efektif melakukan hal sama untuk Trump secara gratis. Bos CNN Jeff Zucker, menghadirkan Trump untuk menyajikan program Apprentice ketika ia bekerja di NBC. Zucker pun mengubah Trump menjadi bintang televisi. Pembatalan Trump di beberapa kali acara CNN dinilainya agak aneh karena ia melihat hubungan CNN dan Trump cukup berhasil. Trump membawa peringkat CNN di pasar persaingan televisi, dan sebaliknya dia pun mendapat imbalan setimpal.
Di tengah kampanye pilpres AS, para analis media sosial mempelajari dampak sosial dari postingan di Twitter dan platform media sosial lainnya di Florida. Mereka melihat Clinton berada di depan Trump. Namun hasil di tempat pemungutan suara sungguh berlawanan. Clinton mendapat suara lebih sedikit dibanding Trump. Di sisi lain, lembaga survei mengabaikan media sosial sebagai kelompok yang tidak mencerminkan populasi pemilih secara keseluruhan. Tapi itu mungkin memberi petunjuk untuk dampak emosional dari calon.
Trump dinilai hanya lebih menghibur dan menghasilkan semangat lebih. Janji jangka panjang, 'klik' internet, rekomendasi teman-teman, dan berita di Facebook membuatnya menjadi pemenang.