REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Pemerintah diminta mempertimbangkan rencana kebijakan satu harga bahan bakar minyak (BBM) se-Indonesia. Ini dikarenakan akumulasi biaya yang dibutuhkan negara dalam jangka panjang cukup besar.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram (Unram) Dr Muhammad Firmansyah menilai secara alami, harga tinggi karena jarak yang jauh adalah lumrah. Yang perlu diatur pemerintah, menurutnya, adalah bagaimana manajemen stok di daerah terpencil.
"Barang kali sekali jalan BBM langsung dalam jumlah besar, sehingga mengurangi intensitas transportasi atau mungkin dengan pengembangan sumber energi selain energi fosil," katanya di Mataram, Senin (14/11).
Pencabutan subsidi harga BBM sudah disepakati sejak lama. Namun, Firmasnyah mengaku heran pemerintah ingin menyubsidi dalam bentuk yang lain. "Tujuan pemerintah memang baik, namun dalam jangka panjang dikhawatirkan membebani keuangan negara. Apalagi dengan kondisi hutang negara yang masih saja melambung," ujarnya.
Bila berbicara masalah kesejahteraan masyarakat, kata dia, sebenarnya bisa diintervensi dengan dua hal, yakni mengurangi biaya hidup atau meningkatkan pendapatan masyarakat. Firmansyah menilai relatif mahalnya harga BBM di daerah yang jaraknya tergolong jauh bisa diatasi dengan meningkatkan pendapatan dan memperluas lapangan kerja. Dengan demikian, akan mengimbangi biaya hidup masyarakat.
"Walaupun harga BBM Rp 100 ribu per liter, tidak akan menjadi persoalan bila pendapatan masyarakat jauh lebih tinggi," ujarnya.
Pemerintah, kata dia, juga bisa menerapkan program subsidi harga kebutuhan pokok yang timbul akibat harga BBM yang relatif mahal, dari pada menyubsidi harga BBM. Sebab, persoalan mendasar adalah kenaikan harga barang akibat kenaikan harga BBM, bukan harga BBM itu sendiri.
"Masalah harga tidak melulu persoalan transportasi, bisa karena kelangkaan, biaya tenaga kerja, dan biaya produksi lainnya," kata Firmasnyah.