REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Tantowi Jauhary *)
Kita ketahui bersama bahwa belakangan ini, di negeri ini, banyak di media sosial memberitakan kasus Gubernur Jakarta yaitu Basuki Tjaja Purnama alias Ahok, yang dituding telah menistakan Alquran terkait dengan Surat Al-Maidah ayat 51. Bahkan, hal itu, dia lakukan dihadapan masyarakat saat melakukan kunjungan ke Kepulauan Seribu.
Selain itu, sebagaimana disaksikan di Youtube, Ahok menyatakan, “Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya, karena dibohongin pake Surat al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan enggak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, enggak apa-apa.” (Republika.co.id, 10/10).
Bahkan, Allah SWT di dalam QS al-Maidah ayat 51 memang secara tegas telah melarang kaum Muslim untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin mereka. Selain itu, ayat inilah yang dituding Ahok sering dijadikan alat untuk membohongi dan membodohi umat Islam agar tidak mau memilih pemimpin kafir, seperti dirinya.
Alquran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Setiap Muslim wajib memuliakan dan mensucikan Alquran. Hal ini telah disepakati oleh para ulama. Karena itu, siapa saja yang berani menghina Alquran berarti telah melakukan dosa besar! Jika pelakunya Muslim, dia dihukumi murtad dari Islam.
Allah SWT berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ – لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Jika kamu bertanya kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sungguh, kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kalian selalu menistakan? Kalian tidak perlu meminta maaf karena kalian telah kafir setelah beriman.” (TQS at-Taubah [9]: 65-66).
Terkait ayat di atas, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata, “Siapa saja mencaci Allah SWT telah kafir, sama saja dia lakukan dengan bercanda atau serius. Begitu juga orang yang mengejek Allah, ayat-ayat-Nya, para rasul-Nya, atau kitab-kitab-Nya.” (Ibn Qudamah, Al-Mughni, 12/298-299).
Di sinilah pentingnya penerapan hukum Islam oleh negara atas pelaku penghinaan ini. Dalam Islam, hukuman bagi orang yang menghina dan melecehkan Alquran yakni: Pertama, Jika pelakunya Muslim, maka dengan tindakannya itu ia dinyatakan kafir (murtad) sehingga ia layak dihukum mati. Kedua, jika ia orang kafir dan menjadi ahl al-dzimmah, maka ia dianggap menodai dzimmah-nya, dan bisa dijatuhi sanksi yang keras oleh negara.
Ketiga, jika ia kafir dan bukan ahl al-dzimmah, tetapi kafirmu’ahid, maka tindakannya bisa merusak mu’ahadah-nya, dan negara bisa mengambil tindakan tegas kepadanya dan negaranya. Keempat, jika ia kafir harbi, maka tindakannya itu bisa menjadi alasan bagi negara untuk memaklumkan perang terhadap dirinya dan negaranya demi menjaga kehormatan dan kepentingan Islam dan kaum Muslim.
Dengan demikian, proses penanganan kasus penghinaan Alquran yang berlarut-larut menunjukkan bahwa persoalannya bukanlah sekadar penghinaan itu sendiri. Selain itu, belum lagi potensi berulangnya peristiwa yang sama dan semua proses penanganan tidak mampu mencegah dan mengatasi persoalan penghinaan ini dengan tuntas.
Artinya, ada persoalan sistemik di negeri ini. Sehingga, persoalan ini baru akan tuntas jika akar masalahnya, yakni penerapan sistem demokrasi sekularisme buatan manusia ini dicabut dan dicampakkan dari kehidupan umat. Sebagai pengganti, diterapkannya syariah Islam yang menjalankan seluruh aturan Allah SWT niscaya akan menjaga kemuliaan Alquran dan menyelesaikan problematika umat Islam, Sehingga Islam rahmatan lil’alamin terwujud dalam kehidupan.
*) Ketua Umum Lembaga Dakwah Kampus Ummi UNIKOM Bandung