REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Musni Umar menilai, penolakan warga terhadap kampanye Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak lepas dari sikap kepemimpinan Ahok selama ini. Ia pun telah menduga seluruh kemarahan warga akan bermuara saat Pilkada DKI Jakarta.
Musni mengatakan, awalnya ia memprediksi warga yang marah terhadap Ahok kemungkinan tidak akan memilih calon pejawat itu di Pilkada. Namun, ternyata bukan hanya itu. Saat ini warga menolak Ahok, bukan hanya dalam bentuk memasang spanduk. Bahkan ada yang mengejar Ahok saat berkampanye.
Menurut Musni, fenomena ini menjadi pelajaran penting bagi kepala daerah yang telah mendapat kepercayaan publik untuk menjaga ucapan. "Mulutmu harimaumu. Kalau berkata yang baik, maka orang akan luluh dan mau mengikuti kita. Sebaliknya, kalau menyakiti, ya masyarakat akan membalasnya," kata Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta, kepada Republika.co.id, Senin (14/11).
Warga melihat momentum pilgub tepat untuk 'membalas' sikap Ahok. Musni mengatakan, warga tidak bisa disalahkan atas fenomena tersebut. Menurut dia, pemimpin atau penguasa lah yang salah karena memimpin dengan cara-cara yang menyakiti masyarakat. "(Penolakan) itu adalah hasil karya atau kerja pemimpin. Sekarang tinggal panen hasilnya," ucapnya.
Ia menambahkan, kemarahan warga terhadap Ahok bisa dipicu oleh beberapa hal, seperti masalah penggusuran hingga ucapan Ahok yang sering menyinggung perasaan. Selain itu, pernyataan Ahok terkait al-Maidah ayat 51 juga berkontribusi atas kemarahan warga.
"Intinya, penolakan terhadap Ahok adalah akumulasi kemarahan warga. Selanjutnya, akumulasi tersebut dituangkan dan diucapkan saat masa pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti sekarang," jelasnya.