REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Tindak kecurangan atau fraud dalam aktivitas perbankan banyak terjadi di Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Berdasarkan catatan yang dihimpun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 80 persen kasus penutupan BPR disebabkan oleh tindak pidana perbankan berupa kecurangan yang dilakukan oleh lembaga keuangan yang bersangkutan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon menyebutkan, maraknya kecurangan oleh perbankan ini membuat reputasi lembaga keuangan bisa ikut terimbas. Nelson menyebutkan, saat ini pihaknya bersama dengan pemerintah berupaya keras untuk melakukan sosialisasi anti-fraud untuk meningkatkan kehati-hatian masyarakat dan kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dananya di bank.
Nelson mengungkapkan, jenis kasus tindak pidana perbankan yang banyak terjadi sejak 2014 hingga kuartal ketiga 2016 ini didominasi oleh kasus kredit dengan kontribusi 55 persen. Setelahnya, rekayasa pencatatan dan penggelapan dana menduduki peringkat kedua dan ketiga dengan persentase masing-masing 21 persen dan 15 persen. Sedangkan kecurangan dalam hal transfer dana dan pengadaan aset menyumbang sembilan persen dari seluruh temuan tindak pidana perbankan.
Menurutnya, BPR menjadi lahan yang paling banyak dimanfaatkan pelaku kejahatan fraud lantaran jumlahnya yang paling banyak dengan lokasi yang tersebar merata di seluruh Indonesia. Hal ini, menurut Nelson membuat pengawasan dari OJK relatif lebih longgar dibanding dengan pengawasan terhadap bank umum yang secara ukuran lebih besar.
Catatan OJK, jumlah BPR di Indonesia sebanyak 1.800 bank. Angka ini tentu jauh lebih banyak dibanding dengan bank umum yang hanya berjumlah 118 bank. Meski ada kelonggaran pengawasan, Nelson menampik bahwa pihaknya tidak melakukan pengawasan. Terhadap BPR, katanya, pemeriksaan tetap dilakukan minimal sekali dalam setahun.
"Lebih karena jumlah BPR yang jauh lebih banyak. Jadi, kesempatan untuk fraud lebih terbuka bagi BPR. Lokasinya juga terkadap jauh dari jangkauan pengawasan kami. Meski tetap ada pemeriksaan, namun kemungkinan fraud di BPR lebih tinggi," kata Nelson, Senin (14/11).
Mengantisipasi hal ini, Nelson menegaskan bahwa pihaknya akan mengedepankan edukasi dan sosialisasi secara dua arah baik terhadap pelaku perbankan atau konsumen. Selain itu, OJK juga menjanjikan untuk meningkatkan pengawasan terutama terhadap perbankan seperti BPR yang lokasinya lebih tersebar.
"Semakin kita bisa tingkatkan kualitas dan intensitas pengawasan, tentunya semakin pelaku fraud itu lebih bisa mengendalikan diri, lebih takut kalau temuan didapatkan oleh pengawas," katanya.