REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus peledakan bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, Ahad (13/11) ditudingan merupakan dampak dari kelalaian aparat keamanan memantau pergerakan mantan narapidana kasus terorisme.
Sebelumnya, satu dari tiga pelaku pelempar bom molotov yang tertangkap diketahui bernama Joh alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia yang pernah dipenjara dalam kasus terorisme.
“Dia pernah menjalani hukuman pidana sejak 2012 akibat terlibat kasus peledakan bom buku di Jakarta pada 2011. Dia. dinyatakan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi Idul Fitri pada 28 juli 2014, kok bisa di ngebom,” tanya Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Tubagus Hasanuddin, Senin (14/11).
Seharusnya kata Tubagus, kalau Joh bebas bersyarat, berarti dia kan wajib lapor. Tentunya, napi yang bebas bersyarat wajib dipantau oleh polisi. Apalagi kasusnya terorisme. Namun kenapa dia bisa pergi ke Kalimantan dan kembali melakukan teror. Apalagi akibat bom molotov itu, merenggut nyawa seorang balita.
Dia meminta kepada Polri, BIN dan BNPT untuk meningkatkan pengawasan terhadap jaringan orang-orang yang sudah masuk dalam daftar pengawasan terorisme dan yang pernah berhubungan.
Selain itu, data intelijen dari semua elemen intelijen dikompilasikan secara komprehensif, agar menghasilkan kesimpulan intelejen yang akurat.
"Data akurat itulah dapat digunakan untuk melakukan pemberantasan teroris di lapangan. Tanpa data akurat kita akan kecolongan," pungkas Tubagus Hasanuddin.
Baca juga, MUI Minta Warga tak Terprovokasi Bom di Gereja Oikumene Samarinda.
Sebelumnya, ledakan diduga berasal dari bom molotov terjadi di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur pada Minggu sekitar pukul 10.00 Wita. Akibat teror bom ini, satu anak balita meninggal dunia. Sementara tiga balita lainnya mengalami luka bakar.