Oleh: Ketua Komisi Dakwah MUI, Chalil Nafis
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah kurang lebih lima abad, akhirnya umat Muslim Granada, Spanyol, memiliki masjid sebagai tempat pengembangan pendidikan Islam dan tentu juga tempat pelaksanaan shalat lima waktu.
Masjid yang memiliki desain minimalis dengan arsitektur gabungan antara Mezquita di Cordoba dan Masjid al-Aqsa di Jerusalem ini bernama Mezquita Mayor de Granada atau Masjid Jami' Granada.
Pagi itu (23/9), saya berangkat menyusuri jalan kecil menanjak menuju masjid. Lokasinya persis di seberang Istana Alhambra. Di depan gereja, merupakan sebuah pelataran populer yang dikenal dengan Plaza Mirador San Nicolas.
Jika pada sore hari, ratusan pengunjung akan memadati kawasan ini menikmati warna merah menawan Alhambra di waktu senja dan malam hari. Saya pun menyaksikan para pedagang menyajikan aneka dagangan mereka kepada para pengunjung.
Menara putih, menjulang tinggi berada tepat di ujung Jalan Calle Espaldas de San Nicolas adalah bagian tertinggi dari masjid ini. Gerbang pintu masjid tak begitu lebar.
Tertera di dinding pembatas gerbang sebuah tulisan Mezquita Mayor de Granada atau Masjid Jami' Granada. Begitu masuk gerbang, kesan damai, rindang, dan tenang seolah hendak menyapa kami. Taman berukuran kecil menghiasi pelataran masjid. Air mancur di tengah taman seolah ingin memecah keheningan pagi menjelang siang. Saya pun menatap dari seberang Benteng Alhambra.
Hening sekali. Tampak seorang bule memakai pakaian yang sangat rapi menyapa, namanya Bashir Cadtineria berasal dari Barcelona. Ternyata dia adalah direktur Masjid Jami' Granada.
Sambil bercakap-cakap sebentar, dia kemudian bercerita tentang masjid di Granada, bahwa masjid itu adalah satu-satunya di Granada. Ada tempat lain hanya seperti mushala.
Saya dipersilahkan masuk masjid untuk shalat Tahiyat Masjid sekaligus shalat Dhuha. Kemudian diajak berbincang tentang masjid dan umat Islam di Spanyol, khususnya di sekitar Masjid Granada.
Masjid ini bukan sebatas bangunan biasa untuk beribadah, tapi lebih dari itu. Bangunan ini seperti mempunyai spirit, sehingga membawa kepada romantisme kegemilangan peradaban Muslim Andalusia ketika itu. Meskipun, nyatanya, Granada sekarang sudah menjadi museum untuk dikunjungi sebagai warisan sejarah.
Lima abad, identitas Muslim dan semua yang berbau Arab, baik bahasa, tradisi, makanan, sampai baju telah dilenyapkan. Namun, berdirinya masjid ini, seakan memberi harapan baru.
Setelah hampir 22 tahun, melalui bermacam kontroversi dan penolakan dari Pemerintah Granada, masjid putih dengan arsitektur gabungan antara Mezquita di Cordoba dan Masjid al-Aqsa di Jerusalem ini berdiri kokoh meskipun terkesan mungil.
Saya seakan terhanyut oleh alunan sejarah masa lalu ketika berada di masjid ini. Terutama ketika mendengar langsung dari takmir masjid yang menyambut kedatangan saya dan teman berkunjung ke masjid itu.
Di sebuah majalah dinding pun bercerita mengenai sejarah Masjid Jami' Granada ini. Sekilas, bentuk mihrab masjid ini menyerupai Mezquita Cordoba, dengan desain yang lebih sederhana. Warna emas mendominasi kubah mihrab lengkap dengan kaligrafi dan dekorasi berbentuk geometri. Menara menjualang ke atas bersegi empat. Ruang inti masjid cukup luas untuk menampung sekitar ratusan jamaah.
Tiga bagian Renato Ramirez Sanchez, sang arsitek, membagi kawasan masjid ini menjadi tiga bagian utama. Terdiri dari ruang inti masjid, pusat budaya, dan taman. Secara keseluruhan, saya perhatikan, berupa bangunan persegi, sederhana, dan berwarna putih.
Yang paling mencolok dari masjid ini adalah menara putih bergaya Mudejar dan terlihat menjulang tinggi di antara bangunan lainnya. Dihiasi dengan kaligrafi Arab Kufi, seakan ingin mempertahankan identitas asli yang memang sudah mengakar di Distrik Albayzin.
Sang imam harus menaiki sekitar 59 tangga untuk sampai ke menara. Lantunan azan dari menara ini akan langsung sampai ke Alhambra, istana termegah yang pernah dibangun umat Islam di benua biru, Eropa, beberapa abad silam.