Kemarahan Beradab, Marwah Pancasila, dan Demokrasi 4 November 2916
Oleh: M Dawam Rahardjo, Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (ELSAF) Jakarta
============
Pada 4 November 2016 terjadi unjuk rasa yang diperkirakan diikuti oleh 2 juta orang, tidak saja dari DKI Jakarta, tetapi juga diikuti oleh umat Muslim dari daerah-daerah bahkan datang dari Aceh demikian juga dilakukan di daerah seperti Solo dan Makasar.
Rencana demo itu sudah diketahui belum lama sebelumnya yang cepat memuncak dari debat publik mengenai dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
Presiden Joko Widodo sendiri sudah mengantisipasi terjadinya demo itu, dan karena itu melakukan kunjungan kepada Prabowo Subianto yang diperkirakan mengetahui kondisi lapangan dan kemudian mengundang para utama ke Istana Negara, dan mengharapkan agar demo dilakukan secara damai dan kemudian ditambah dengan imbauan agar tidak memaksakan pendapat.
Demo terbesar sejak gerakan reformasi itu, yang semula diperkirakan hanya akan diikuti paling banyak 200 ribu orang itu benar-benar berlangsung di luar dugaan skalanya. Gejala ini menunjukan bahwa tuntutan agar dugaan penodaan agama oleh Ahok diusut secara hukum memang didukung oleh kalangan umat Islam luas, baik dari kalangan awam maupun terpelajar walaupun tokoh Muhammadiyah seperti Buya Syafii Maarif cenderung agar umat Islam mengabulkan permintaan maaf Ahok sambil berpendapat bahwa sebenarnya banyak tokoh umat yang telah "membajak nama Tuhan" dalam pembenaran pendapat politik.
Sementara mantan Ketua PAN Abdillah Toha dalam tulisannya (1 November, 2016) di Harian Republika yang mengulas tulisan M Amien Rais 28 Oktober, 2016 berpendapat bahwa tokoh penggerakan reformasi itu telah bertindak sebagai alter ego Tuhan dalam menghukum suatu perkara yang merupakan otoritas langit. Jika mengikuti pandangan seperti itu, maka demo 4 November bisa dinilai sebagai personifikasi Tuhan yang lagi murka, padahal Tuhan itu adalah pemaaf yang kebenaran wahyuNya tidak akan berkurang walaupun dinodai oleh siapapun. Tuhan sendiri tidak memerlukan pembela dari manapun.
Tetapi adalah wajar dan manusiawi jika pemeluk teguhpun akan merasa tersinggung apabila merasa imannya dinodai.
Karena itu maka hukum negara di Indonesia dan di kebanyakan negara demokrasi, melarang hujatan terhadap agama. Alasannya adalah bah penistaan terhadap agama berpotensi mengusik perdamaian dan persatuan bangsa.
Dalam realitas, ejek mengejek, sekalipun tidak menyangkut masalah yang sensitif seperti agama pun, bisa menimbulkan perkelahian massal. Karena itu maka hukum negara diperlukan guna menghindari bentrok dan gejolak sosial. Ini tidak berarti bahwa negara mewakili Tuhan dalam melindungi agama yang diturunkannNya karena ia sendiri yang akan menjaganya.
Yang dijaga oleh negara adalah kerukunan dan persatuan masyarakat yang bisa marah jika tersinggung perasaannya. Apalgi dasar Negara RI adalah Pancasila di mana sila yang pertama adalah ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dasar ini harus dijaga marwahnya, karena merupakan sumber moral warganya.