Selasa 15 Nov 2016 19:49 WIB

Sosiolog: Penanganan Mantan Teroris Belum Maksimal

Tim Laboratorim Forensik Mabes Polri melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di lokasi ledakan di Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (14/11).
Foto: Antara/Amirullah
Tim Laboratorim Forensik Mabes Polri melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di lokasi ledakan di Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (14/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Sosiologi Politik Universitas Indonesia, Prof Iwan Gardono Sujatmiko menilia penanganan mantan teroris belum maksimal karena terbukti mereka masih menjalankan aksi teror setelah menjalani hukuman, seperti terjadi di Samarinda, Kaltim beberapa hari lalu.

"Aksi ini bukan karena program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini BNPT, gagal, tapi karena memang saat ini penanganan masalah mantan teroris masih belum maksimal," kata Iwan di Jakarta, Selasa (15/11).

Ia mengemukakan hal itu menanggapi aksi teror berupa pelemparan bom molotov di Gereja Oikumene di Samarinda, Minggu (13/11), yang dilakukan oleh mantan napi terorisme kasus bom buku, Juhanda.

Menurut Iwan, butuh sinergi dari berbagai pihak dalam menjalankan program pencegahan terorisme, khususnya deradikalisasi, demi menciptakan Indonesia damai. Secara spesifik, kata dia, dalam program deradikalisasi ada reintegrasi, dan itu harus dilakukan oleh komunitas Muslim, dalam hal ini adalah ulama dan tokoh masyarakat yang pemahaman agamanya sudah mumpuni.

Langkah itu adalah bagian tidak terpisahkan dalam membangun masyarakat yang bersih dari ajaran sesat kelompok radikal. Di masyarakat modern sekarang ini, lanjut Iwan, jaringan kelompok antagonis lebih kuat dibandingkan jaringan protagonis akibat kurangnya komunikasi antara pemerintah dengan ulama dalam menyebarkan program-program pencegahan terorisme.

Untuk itu, pemerintah bisa menggandeng NU dan Muhammadiyah untuk bersama melakukan deradikalisasi, terutama bagi mantan napi yang sudah kembali ke masyarakat.

"Yang penting program deradikalisasi terus dikembangkan dan disertai peningkatan program reintegrasi dari komunitas agar mereka tidak masuk jaringan teror lagi seperti tersangka teror Samarinda kemarin," jelasnya.

Terlepas dari itu, kata Iwan, persatuan dan kebinekaan penting terus dipelihara dan diperkuat untuk menciptakan kedamaian dalam lingkup NKRI sehingga akan mendukung rasa aman publik dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.

"Sehingga mereka tidak akan 'nyasar' masuk dalam kelompok radikal," ucapnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement