REPUBLIKA.CO.ID, PULAU MANUS -- Rasa bahagia dan ragu membayangi para pengungsi di Pulau Manus menyusul tercapainya kesepakatan pemukiman kembali antara Australia dengan Amerika Serikat.
Lebih dari 600 pengungsi di Pulau Manus merayakan pengumuman kesepakatan ini, namun mereka masih menyimpan banyak pertanyaan mengenai kesepakatan tersebut dan khawatir [kesepakatan ini justru] akan malah memicu lebih banyak kekecewaan.
“Saya amat bersemangat dan senang. Jujur saja, kemarin suasana di pusat detensi Pulau Manus ini sangat ribut sekali, saya bisa bilang begitu, karena semua orang amat senang dan saya tidak pernah melihat mereka sebahagia ini sebelumnya,” kata pengungsi asal Sudan, Azis Adam, yang berharap kesepakatan dengan AS ini dapat mengakhiri masa tinggal dia di Pulau Manus.
Banyak dari pengungsi mengatakan mereka akan senang sekali menukar peluang untuk dimukimkan di Australia dengan sebuah kesempatan di Amerika Serikat. “Pertama kami menginginkan keamanan dan saya kira AS adalah tempat yang aman untuk kami,” ujarnya.
Tapi dia mengaku merasa khawatir karena kurangnya rincian dari kesepakatan ini. “Kami tidak tahu sama sekali mengenai kesepakatan tersebut.. Inilah sebabnya mengapa kami merasa stres dan amat aneh,” ujarnya.
Sejak April lalu, para pengungsi pria di pusat penahanan banyak yang bepergian ke pusat kota di Pulau Manus, Lorengau, ketika Mahkamah Agung Papua Nugini menyatakan keberadaan pusat penahanan itu ilegal. Kebanyakan dari mereka berbelanja di pasar yang baru saja rampung dibangun oleh Australia sebagai bagian dari kesepakatan penahanan.
"Pusat detensi yang dibangun disini membawa keuntungan bagi masyarakat di Pulau Manus dalam arti fasilitas ini memicu kemajuan,” kata pemilik toko, Juni Polomon.
Sebelum pintu gerbang pusat detensi dibuka, hanya ada sejumlah pengungsi -yang sepakat untuk dimukimkan di Papua Nugini -diperbolehkan berkeliaran di Loreangau. Tapi putusan pengadilan menyaksikan ratusan orang datang ke kota dan itu telah menyebabkan konflik antara penduduk setempat dan pencari suaka.
"Ketika itu masyarakat lokal tidak diberi cukup waktu [untuk mengetahui] kalau para pengungsi ini akan dibolehkan keluar dari rumah detensi. Tapi karena sekarang mereka sudah keluar, kami sudah menemukan cara untuk bergaul dengan mereka, mencoba berbicara dengan baik kepada mereka," kata Polomon.
“Meskipun ada sejumlah warga lokal yang berkomentar negatif, saya kira ini hanya karena tidak saling memahami saja,” ujarnya. Sejumlah pengungsi mengatakan mereka telah dirampok dan diserang dan mendorong Pemerintah Australia untuk memindahkan mereka segera dari Pulau Manus.
Kesepakatan pemukiman kembali ini tidak berlaku bagi pengungsi pria yang pengajuannya telah ditolak dan mereka yang menolak otoritas Papua Nugini memproses mereka. Mereka mengaku sudah diberitahu bahwa mereka akan dikembalikan ke daerah asal mereka, atau pergi ke Nauru.
“Orang-orang merasa khawatir, sangat-sangat khawatir karena mereka sudah berada disini dalam waktu yang lama,” kata seorang jurnalis asal Iran Behrouz Boochani.
Ia menolak mengajukan suaka kepada otoritas Papua Nugini tapi mereka tetap memprosesnya dan menganggapnya sebagai pengungsi. Menurutnya, proses penentuan pengungsi itu sangat cacat, dan orang-orang yang pengajuan pengungsinya ditolak tidak boleh dikirim ke Nauru.
"Mengirim orang ke Nauru itu sangat tidak adil dan mengatakan Anda harus tinggal di sini selama 20 tahun," kata Boochani.
Masih banyak ketidakpastian tentang kapan pemukiman kembali ini akan ditawarkan dan kepada siapa saja penawaran ini ditujukan.
Para pengungsi di Pulau Manus merasa harapan mereka sudah pupus sebelumnya. Sebagian dari mereka mengatakan, kali ini mereka jauh lebih optimistis, tapi di saat yang bersamaan mereka juga merasa takut bahwa segala sesuatunya bisa saja salah, dan mereka masih akan terjebak di Pulau Manus.