Jumat 18 Nov 2016 07:03 WIB

Sultan HB X Sebut Ada Potensi Ancaman Terhadap Kesultanan Yogya

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) , Sri Sultan Hamengkubuwono X saat memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (17/11).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) , Sri Sultan Hamengkubuwono X saat memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (17/11).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sidang uji materi undang-undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (KDIY) terhadap UUD 1945, yakni pasal 18B ayat 1, digelar pada Kamis (17/11). Sidang keempat itu menghadirkan Sultan Hamengkubuwono X sebagai pihak terkait.

Sultan dalam kesempatan itu mempersoalkan pasal 18 ayat 1 huruf m UU 13 tahun 2012 tentang KDIY. Menurut dia, huruf m pada pasal tersebut, menimbulkan ketidakpastian karena seolah ingin mengatakan pemegang tahta itu harus seorang laki-laki.

Walaupun, pasal itu juga merugikan seorang laki-laki yang belum atau tidak memiliki istri. Bunyi pasal 18 ayat 1 huruf m: Bahwa syarat calon gubernur dan calon wakil gubernur itu harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak.

"(Harusnya kata 'istri') Dihilangin, atau, istri garing (garis miring) suami, dan adik kandung garing saudara kandung," tutur dia usai memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, Kamis (17/11).

Menurut Sultan, seharusnya tidak perlu diatur adanya syarat menyerahkan daftar riwayat seperti dalam pasal 18 ayat huruf m itu. Semestinya, cukup hanya memenuhi persyaratan yang diatur dalam pasal 18 ayat 1 huruf a sampai n, kecuali huruf m dalam UU nomor 13 tahun 2012 tentang KDIY.

Sultan mengatakan, kata 'istri', 'saudara kandung', dan 'anak', dalam pasal 18 ayat 1 huruf m itu dapat menimbulkan potensi masalah tersendiri yang bisa digunakan oleh pihak yang berburu kekuasaan untuk melebarkan urusan internal ke luar keraton.

Lanjut Sultan, kondisi demikian akan mengancam kedaulatan keraton karena urusan internal keraton terseret melebar di luar keraton yang bisa memancing kekisruhan, baik dari dalam maupun dari luar keraton.

"Tentunya mengancam eksistensi kesultanan dan kadipaten. Ini layak direnungkan guna diantisipasi pencegahan dan penyelesaian masalahnya karena kekisruhan akan dengan mudah dimainkan dinamika politik yang terjadi," tutur dia. (Umar Mukhtar) Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement