REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Divisi Hukum dan Penindakan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) DKI Jakarta, Muhamad Jufri, mengatakan pihaknya belum bisa memastikan pihak mana yang bertanggungjawab atas aksi penolakan kampanye pasangan nomor dua Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat. Pengembangan kasus penolakan sudah dilimpahkan sepenuhnya kepada kepolisian.
"Berdasarkan hasil klarifikasi yg kami lakukan lewat pemanggilan saksi dan bukti yang ada ternyata pelaku itu belum mengarah terhadap salah satu paslon. Sebab, latar belakangnya pun bukan berasal dari tim sukses (timses) manapun," ujar Jufri di Jakarta, Sabtu (19/11).
Karena itu, pihaknya belum dapat menetapkan secara pasti latar belakang penolakan. Saat ini Bawaslu sudah melimpahkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian. "Penyidikan sudah dilakukan. Nantinya ada pengembangan kasus atau tidak itu menjadi kewenangan kepolisian," kata Jufri menambahkan.
Sebelumnya, Aliansi masyarakat sipil untuk Indonesia hebat (Almisbat) dan Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB) mengungkapkan gangguan kampanye pasangan Ahok dan Djarot merupakan hasil rekayasa dan bukan spontanitas masyarakat.
Menurut catatan Almisbat dan RPJB, selama kampanye Pilkada DKI mulai 28 Oktober 2016, sudah ada empat kali gangguan dan intimidasi terhadap kampanye yang dilakukan pasangan nomor urut dua ini. Gangguan dan intimidasi terjadi saat Ahok kampanye di Jagakarsa pada 31 Oktober 2016 dan di Rawabelong pada 2 November 2016.
Sementara gangguan dan intimidasi kampanye juga terjadi saat Djarot kampanye di Cilincing, Jakarta Utara pada 2 November 2016 dan di Kebayoran Lama pada 6 November 2016. Bentuk gangguan tersebut tidak hanya berupa penghadangan, protes dan ujaran kebencian bernada SARA, bahkan ada yang cenderung sudah mengancam keselamatan kandidat.