REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amriel menyampaikan masih rendahnya sistem peradilan pidana Indonesia dalam memenuhi dan menjaga hak anak dalam kasus kekerasan seksual. Reza mengatakan, berdasarkan data Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, 70 persen putusan hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak.
"Dalam perkara-perkara kejahatan seksual terhadap anak, 70 persen putusan hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa. Juga, dari 280 putusan pengadilan dalam kurun 2011-2015, rata-rata hukuman penjara hanya 51 bulan," kata Reza saat dihubungi, Ahad (20/11).
Padahal, lanjut Reza, dalam UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, terdakwa kekerasan seksual anak dapat dikenai hukuman penjara hingga 15 tahun. Pemberatan hukuman pun bisa naik hingga 20 tahun. Hasil putusan pengadilan tersebut, kata dia, merupakan salah satu indikator berhasil atau tidaknya sistem peradilan dalam melindungi anak dari kejahatan seksual.
"Bandingkan putusan pengadilan dengan besaran sanksi pidana berdasarkan UU Perlindungan Anak. Tetapkan ambang minimal sebesar 80 persen. Semakin banyak putusan yang memidana terdakwa dengan hukuman minimal 80 persen dari total tahun pemidanaan, semakin positif dunia peradilan. Artinya, semakin tinggi penghayatan para hakim terhadap tuntutan publik agar pelaku dihukum berat," jelasnya.
Reza mengatakan, indikator keberhasilan lainnya yakni dengan melihat jumlah kasus yang dilaporkan oleh masyarakat. Jika terdapat peningkatan jumlah laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak, maka ia menilai perlindungan terhadap anak justru lebih meningkat.
Sebab, masyarakat dan orang tua lebih berani melapor kepada kepolisian. Reza pun berharap dengan tingginya jumlah laporan kekerasan seksual terhadap anak, kepolisian dapat menuntaskan kasus-kasus tersebut.