REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meskipun dikenal luas sebagai sosok yang keras, tegas, dan berwibawa, hal itu tak menjadikannya jemawa. Khalifah Umar bin Khattab menjunjung tinggi prinsip toleransi. Kisah penaklukan Yerusalem tersebut menunjukkan sikap Umar yang memahami benar makna surah al-Kafirun ayat enam. Bagimu, agamamu. Bagiku, agamaku.
Abbas Mahmud Aqqad (2003) mencatat bahwa salah satu sikap Khalifah Umar yang paling dikenang adalah keberpihakannya kepada kaum minoritas yang tertindas. Pasukan Islam berhasil merebut Yerusalem dari cengkeraman kekaisaran Romawi Timur.
(Baca: Teladan Toleransi Umar bin Khattab)
Namun, Umar tidak menerjemahkannya sebagai penaklukan Islam atas orang-orang Kristen sipil. Ia tetap menghormati mereka, termasuk hak-haknya untuk mempertahankan iman dan kepercayaan yang berlainan dengan Islam.
Prinsip toleransi tidak hanya menegaskan batas kami-kalian. Khalifah Umar bahkan menghadirkan sikap demokratis dengan menerima tawaran perjanjian damai. Umar tidak mau membisukan kaum minoritas. Ia menghormati hak-hak mereka untuk hidup damai berdampingan dengan umat Islam, antara lain, dalam membina Yerusalem.
(Baca Juga: Warisan Umar bin Khattab yang Menginspirasi)
Inilah esensi toleransi yang jarang ditemui dalam konteks Yerusalem kini. Seperti diketahui, Yerusalem merupakan kota suci bagi Islam, Kristen, dan Yahudi. Namun, kini otoritas Israel dengan pongah mengekang kebebasan beragama di Palestina.
Bahkan, kaum Yahudi itu berencana melarang kumandang azan, yang dinilai sebagai kebisingan semata. Pembisuan sedang diupayakan terwujud. Khalifah Umar sama sekali tidak takut menghadapi risiko akibat kebijaksanaannya yang tegas diterapkan. Sebab, cita-citanya adalah kebesaran Islam dengan menjunjung tinggi kedamaian dan keadilan.
Jika kita menilai dan membandingkan maka apa yang diperbuat Israel hari ini adalah kemunduran peradaban. Sikap toleransi Khalifah Umar telah mengganti kerugian, rasa takut, dan ketidakpastian kaum Kristen dengan kehormatan dan keadilan.
Umat Yahudi dahulu dihina kekaisaran Romawi Timur, antara lain dengan dijadikannya Rumah Sulaiman sebagai tempat sampah. Al-Faruq tidak membiarkannya dan mengajak semua pihak untuk membersihkannya.
Dengan demikian, sikap toleransi bukanlah mengutamakan perbedaan, melainkan mengelola perbedaan itu menjadi jalan menemukan keadilan.