Ahad 20 Nov 2016 20:30 WIB

Republik Islam Gambia Hormati Kebebasan Beragama

Rep: Marniati/ Red: Agung Sasongko
Muslim Gambia.
Foto: IST
Muslim Gambia.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Tahun 2015, merupakan masa bersejarah bagi Gambia. Deklarasi Gambia oleh Presiden Yahya Jammeh, menegaskan Gambia sebagai Republik Islam.

Penetapan ini dimaksudkan sebagai langkah menjauhkan negara yang terletak di Afrika Barat ini, dari sisa-sisa peninggalan masa kolonial. Sebelumnya, Gambia adalah negara sekuler.

Sebagai Muslim mayoritas di negeri ini, Gambia tidak mungkin melanjutkan warisan kolonial, ujar Yahya. Gambia dihuni oleh mayoritas penduduk beragama Islam. Jumlahnya hampir 95,3 persen dari total populasi. Sisanya menganut Katolik, Protestan, dan agama tradisional Afrika.

Kendati berstatus Republik Islam, Yahya memastikan agama lain masih dapat mempraktikkan keimanan mereka di Gambia. Gambia akan menjadi negara Islam yang menghormati hak-hak semua warga negara maupun orang yang bukan warga negara Gambia.

Islam di Gambia ditandai dengan koeksistensi dengan agama-agama lain. Mayoritas Muslim Gambia adalah Sunni. Namun, beberapa praktik agama dan suku populer yang berbeda dari ajaran Islam menjadi sangat umum di Gambia.

Kebebasan beragama di Gambia muncul berkat toleransi di kalangan umat beragama dan para pemimpin yang terjaga hingga saat ini. Gambia memiliki konstitusi yang mengatur kebebasan beragama.

Pemerintah secara umum menghormati hak warga negara dalam mempraktikkan ajaran agamanya. Pemerintah juga tidak mentolerir kekerasan, baik oleh pelaku pemerintah atau swasta.

Pemerintah menjadikan hari libur nasional untuk beberapa hari raya keagamaan. Seperti Tobaski (Idul Adha), Yaomul Asyura (tahun baru Islam), Maulid al-Nabi (kelahiran Nabi Muhammad), Koriteh (Idul Fitri) , Jumat Agung, Senin Paskah, Assumption Day, dan Hari Natal.

Pemerintah juga tidak membatasi pengajaran agama di sekolah-sekolah. Kedua sekolah negeri dan swasta di seluruh negeri memberikan studi Alkitab dan Alquran tanpa pembatasan pemerintah atau gangguan lainnya. Pemerintah mendanai pelajaran agama di sekolah umum walaupun tidak bersifat wajib.

Keputusan penetapan Gambia sebagai Republik Islam tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Hamat Bah, dari oposisi Partai Nasional Rekonsiliasi, mengecam keputusan presiden tersebut.

Menurut dia, ada klausul konstitusional yang mengatakan bahwa Gambia adalah negara sekuler. Presiden tidak dapat memutuskan sesuatu tanpa melalui referendum.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement