Senin 21 Nov 2016 12:45 WIB

Xi Jinping Ingin Hong Kong Jaga Stabilitas Sosial dan Politik

Rep: Puti Almas/ Red: Winda Destiana Putri
Presiden Cina, Xi Jinping saat berbicara di pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Lima, Peru, Sabtu (19/11).
Foto: REUTERS/Mariana Bazo
Presiden Cina, Xi Jinping saat berbicara di pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Lima, Peru, Sabtu (19/11).

REPUBLIKA.CO.ID, LIMA -- Presiden Cina Xi Jinping meminta kepala eksekutif Hong Kong Leung Chun Ying untuk menjaga persatuan dan menjaga stabilitas sosial serta politik di wilayah administratif tersebut. Hal ini disampaikan menyusul kekhawatiran mendalam mengenai sejumlah protes di Hong Kong, bahkan kemerdekaan sebagai negara sendiri.

Menurut Xi, Leung harus secara tegas menjunjung tinggi persatuan nasional. Seperti komentar yang sebelumnya ia buat bahwa Cina tak akan membiarkan satupun wilayah di dalam negaranya untuk mengambil keputusan secara sepihak.

Pertemuan kedua pemimpin politik berlangsung di sela-sela KTT APEC di Lima, Peru, Ahad (20/11). Menurut Leung, Xi secara tegas menekankan tak ada ruang yang diberikan Cina untuk kemerdekaan Hong Kong. "Secara tegas presiden mengatakan tak ada ruang untuk kemerdekaan Hong Kong. Namun, di bawah satu negara, wilayah ini tetap dapat memiliki sistem peraturan yang berbeda, sebagaimana ketetapan dari awal," ujar Leung dilansir laman Reuters.

Protes semakin bermunculan di Hong Kong setelah pengadilan di wilayah itu melarang dua anggota parlemen yang terpilih dari legislatif kota menduduki jabatan. Hal itu disebut atas permintaan Pemerintah Cina karena mereka dinilai telah melakukan penghinaan negara saat melakukan sumpah jabatan.

Dua anggota parlemen Yau Wai Ching dan Baggio Leung sebelumnya pernah tampil dan menyatakan Hong Kong bukanlah Cina. Sebanyak 2.000 pengacara kemudian memprotes Beijing yang dinilai mengganggu independensi peradilan Hong Kong dan memberi putusan untuk melarang keduanya aktif dalam jabatan.

Hong Kong merupakan wilayah kota bekas jajahan Inggris yang dikemalikan pada Pemerintah Cina pada 1997. Terdapat perjanjian satu negara dua sistem, di mana Hong Kong dapat memiliki kebebasan dan otonomi luas, termasuk sistem hukum yang terpisah.

Namun, penguasa Partai Komunis di Beijing tetap memiliki kontrol utama. Pemerintah dapat menafsirkan Undang-Undang dasar dan bagi beberapa orang di Hong Kong yang memiliki perbedaan pendapat disebut sebagai penganggu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement