REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gaya arsitektur, bentuk bangunan, kubah, menara, pilar utama, hingga ornamen-ornamen kaligrafi yang menghiasi setiap bagian bangunannya, membuat masjid Al-Mashun jadi terkesan istimewa. Tak heran jika pertama kali melihat bagian dalam dan ornamen-ornamen yang menempel di bagian dindingnya, orang-orang berdecak kagum.
Masjid yang diarsiteki JA Tingdeman dari Belanda ini dibangun pada 1906, di atas lahan seluas 18 ribu meter persegi dan dapat menampung sekitar 1.500 jamaah. Masjid Raya Al-Mashun yang menjadi ikon Kota Medan ini, memang banyak dikagumi karena bentuknya yang unik, tidak seperti bangunan masjid umumnya yang berbentuk segi empat. Karena itu, tak heran kalau masjid ini jadi salah satu objek wisata bagi wisatawan asing dan dalam negeri.
Turis dari Eropa banyak yang kagum dan mengabadikan bangunan masjid yang letaknya tidak jauh dari Istana Maimoon, sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Deli pada waktu itu. Apalagi, setelah mengetahui, material masjid ini, seperti marmer dan relief kaca, banyak didatangkan langsung dari Italia, India, dan Timur Tengah. Maka tak heran, kalau masjid ini dikatakan memiliki perpaduan arsitektur dari ketiga benua itu.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa temuan. Yakni, komponen-komponen budaya yang mendominasi arsitektur dan ragam hias Masjid Raya Al Ma'shun, pada umumnya berasal dari arsitektur Islam, khususnya Mesir (periode Mamluk yang berlanjut sedikit pada periode Ottoman), Spanyol (Andalusia) dan Maghribi, India (periode Mughal Architecture), serta Arab (Timur Tengah).
Sedangkan komponen-komponen yang berasal dari Eropa, merupakan komponen pelengkap. Komponen-komponen budaya yang mendominasi masjid merupakan komponen-komponen yang pada umumnya berasal dari arsitektur Islam, yaitu arsitektur yang berkembang pada masa puncak kejayaan kerajaan-kerajaan Islam. Hal ini menandakan bahwa adanya keinginan untuk menjadikan masjid itu sebagai masjid kerajaan Islam yang indah dan megah.