Senin 21 Nov 2016 18:58 WIB

Dubes RI untuk Myanmar Bantah Terjadi Genosida Muslim Rohingya

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agus Yulianto
Gambar citra satelit kondisi desa-desa di negara bagian Rakhine, Myanmar yang dihuni oleh etnis Muslim Rohingya, pada November 2016.
Foto: Human Rights Watch
Gambar citra satelit kondisi desa-desa di negara bagian Rakhine, Myanmar yang dihuni oleh etnis Muslim Rohingya, pada November 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan adanya genosida terhadap Muslim Rohingya dari Organisasi HAM internasional, dibantah Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi Djunisanyoto.  Ito menyebut, ada informasi yang keliru terkait informasi genosida Muslim Rohingya yang belakangan menjadi perhatian masyarakat Indonesia.

"Saya orang yang langsung ke lapangan selama tujuh hari, bersama perwakilan Kedubes RI dan perwakilan UN. Pada awal November, kita rombongan delegasi yang baru pertama kali diberi akses melihat dan bertanya dengan Muslim Rohingya," kata dia, kepada Republika.co.id, Senin (21/11).

Menyinggung isu pembakaran kampung, di Rakhine, Ito menjelaskan, khususnya di dekat Maungdaw memang betul ada rumah-rumah yang dibakar, tapi sebagian kecil saja. Ia mencontohkan, ada satu kampung yang berjumlah 260-an rumah, kemudian 13 rumah yang dibakar di wilayah dekat Maungdaw.

"Dan lokasi pembakaran itu betul-betul kosong tidak ada bekas cangkir, piring. Jadi, betul-betul rumah itu dibakar dalam keadaan kosong," kata dia.

Kemudian, pertanyaannya siapa yang membakar, tentu ini harus dibuktikan. Menurutnya, kalau memang tentara atau polisi di sana berniat ingin membakar, pasti bisa saja satu kampung dibakar habis.

Dan pada saat pembakaran, laporan yang diterima pihak Kedubes RI di Yangoon, memang saat itu kampung betul-betul kosong. "Sampai kita datang, baru warga berbondong-bondong keluar dari persembunyian," ujarnya.

Ito menegaskan, kalau memang betul ada pembantaian, tentu ada bekas-bekasnya. Karena, sebagai mantan polisi dan pernah juga bertugas di Bosnia saat tragedi genosida di sana, ia pastikan bisa membedakan apakah benar ada pembantaian itu atau tidak. "Karena kalau ada genosida bisa dilihat bekasnya," ujar dia.

Tapi, yang terjadi tidak seperti itu. Konflik dan pembakaran rumah di desa sekitar Maungdaw itu, menurutnya, semua bermula dari serangan kelompok RSO (Rohingya Solidarity Organisation). Kelompok RSO ini bagi pemerintah Myanmar merupakan separatis, karena ingin memisahkan diri dari pemerintahan Myanmar yang sah.

Alasan yang digunakan karena mereka Muslim dan etnis minoritas yang ditindas oleh pemerintah Myanmar. Padahal kata dia, sebenarnya ada beberapa kelompok Muslim di Myanmar yang bisa hidup berdampingan dengan kelompok mayoritas agama dan etnis di sana. Dan pimpinan kelompok RSO itu memang alumni-alumni dari Taliban, Pakitan, dan Afganistan.

Terkait sikap pemerintah Myanmar, mantan Kepala Bareskrim pengganti Susno Duadji ini menilai, sebenarnya Aung San Suu Kyi sudah lebih mengakomodiasi kelompok Muslim di Myanmar, termasuk Muslim Rohingya. Suu Kyi telah mengubah paradigma agar Muslim Rohingya itu disebut sebagai Kelompok Muslim Rakhine agar tidak terjadi diskriminasi.

Selain itu, Suu Kyi juga telah membungkam kelompok-kelompok Budha radikal yang digerakkan oleh Biksu Ashin Wirathu, yang juga dikenal dengan kelompok 969. Sekarang, kelompok Budha Radikal itu sudah tidak difasilitasi oleh pemerintahan Suu Kyi dan mereka tidak bisa berbuat banyak, seperti pada masa pemerintahan sebelumnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement